Beribadah dengan Harta

Oleh: Dra Nurmala

HARTA penopang hidup yang dibutuhkan manusia setiap menjalankan aktifitas dunia. Pada kajian maqashid syariah, untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, maka salah satu yang harus dijaga adalah harta (hifz al-mal).

Perlu diakui, tidak satu pun manusia dapat mengemban hidup tanpa dukungan harta. Banyak sekali ketimpangan sosial yang dialami anak adam akibat kekurangan harta. Aspek-aspek yang dianggap berpangkal dari minim material tersebut mencakup berbagai lini kehidupan seperti kelaparan, kebodohan, maraknya kriminalitas, rendahnya kualitas kesehatan dan lainnya.

Karenanya, tidak dipungkiri harta menjadi unsur yang harus mendapat perhatian penting bagi setiap manusia, termasuk umat Islam.

Islam memberikan perhatian khusus terhadap harta, baik cara mendapatkannya maupun penggunaannya, sehingga harta yang dimiliki mempunyai nilai ibadah di sisi Allah, dalam rangka pencapaian kehidupan bahagia di akhirat.

Seorang muslim diperintahkan mencari nafkah dan menghasilkan harta dengan berjuang sekuat tenaga, agar kebutuhan primernya terpenuhi. Tangan yang memberikan bantuan, dalam pandangan Islam jauh lebih baik dari tangan yang menerima pemeberian karena empati, sebagaimana pesan Rasulullah dalam riwayat Imam Bukhari; tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.

Harta menjadi modal manusia melakukan segala perbuatan positif (ibadah). Merujuk literatur Islam, terdapat ibadah yang membutuhkan harta dalam pelaksanaannya, seperti zakat, sedekah, hibah, haji, kurban, dan semacamnya. Zakat hukumnya wajib, yang dibebankan pada orang kaya yang telah memenuhi syarat.

Allah berfirman dalam Al-Baqarah ayat 177; Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman pada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya.

Salah satu bentuk kebaikan adalah memberikan harta yang dicintai pada orang kekurangan dan membutuhkan belah kasihan. Penekanan ayat ini pada harta yang dicintai, memberikan isyarat pada kelemahan manusia, yaitu sangat sulit untuk memberikan miliknya yang ia cintai meskipun pada saudaranya. Memberikan harta yang tidak bernilai atau tidak disukai tentu penghargaannya lebih rendah dibandingkan orang memberikan harta yang dicintai dan terbaik.

Hal ini senada dengan ungkapan Abdurrahman ibn Nashir al-Sha’diy dalam karyanya Taysir al-Karim al Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, bahwa pemberian harta yang dicintai kepada orang lain menandakan kuatnya iman sosok pemberi. Pemberian harta minim nilai menjadi indikator ia sangat mencintai hartanya, takut miskin, dan imannya masih lemah.

Catatan tersebut dapat dipahami bahwa beribadah dengan harta merupakan amalan berat. Tentu pemicunya sifat cinta manusia terhadap harta yang mereka usahakan dengan siang malam. Bahkan, ada kecondongan dalam benak manusia bahwa harta mutlak miliknya, sehingga ia bersikap enggan mengeluarkan secuil pun. Bisa jadi ia takut kekurangan harta.

Semangat ibadah dalam bentuk harta patut dibangkitkan.Banyak ayat meggambarkan ganjaran berlipat ganda bagi orang dermawan. Sehingga timbul hasrat beribadah berupa pemberian harta pada kaum lemah.

Selain itu, pemberian harta yang berkualitas tinggi juga harus diimbangi dengan kualitas amalan dalam tingkatan keikhlasan yang tinggi pula. Supaya Allah mencatat amalannya dan harta yang didonasikan tidak sia-sia.

Pesan akhir, jangan takut memberi, sebab apa pun yang dimiliki saat ini adalah pemberian Allah. Sang penguasa rezeki bisa mencabut dan menambah harta manusia kapan pun, maka manfaatkan amanah harta dalam kebaikan meskipun sebiji zarah.

TERBARU

BERITA TERHANGAT

BERITA MINGGUAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT