Banda Aceh, JBA – Ketua Departemen Kebijakan Publik KAMMI UIN Ar-Raniry, Muhammad Fasya mengatakan keputusan yang diambil oleh DPR saat ini, yang berusaha untuk membatalkan keputusan MK terkait perubahan usia maksimal calon gubernur dan calon wakil gubernur, telah memicu gelombang protes dan kritik dari berbagai kalangan.
Banyak yang menilai bahwa langkah ini tidak hanya mengabaikan putusan hukum tertinggi di negara ini, tetapi juga mencerminkan upaya untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang merugikan prinsip demokrasi. Keputusan ini dianggap sebagai preseden buruk yang dapat melemahkan independensi lembaga-lembaga negara, serta membuka jalan bagi intervensi politik dalam proses penegakan hukum. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap DPR dan komitmen mereka terhadap konstitusi semakin dipertanyakan.
Menurut Fasya, keputusan MK adalah keputusan yang sudah mutlak, keputusan yang bersifat final dan mengikat. Tidak ada dalam sejarahnya aturan yang di bawah dapat merevisi aturan yang di di atas.
“Sejak kapan putusan MK dapat direvisi oleh putusan DPR”, tegasnya.
Ia menyebutkan sudah sangat jelas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003, Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003, dan pada Pasal 24 huruf c ayat (1) UUD 1945, bahwa putusan MK adalah putusan yang bersifat final dan mengikat serta tidak dapat diganggu gugat oleh upaya hukum lain yang dapat dilakukan terhadap putusan tersebut.
Kemudian yang sangat disayangkan lagi, DPR yang seharusnya menjadi bagian dari suara rakyat, justru sering kali terlihat lebih memperjuangkan kepentingan golongan tertentu atau elite politik daripada kebutuhan masyarakat luas. Padahal, sebagai wakil rakyat, mereka seharusnya mendengarkan, menyuarakan, dan memperjuangkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia demi tercapainya kesejahteraan dan keadilan sosial.
“Maka ketika DPR sudah tidak dapat kita percayai lagi maka pada siapa kita harus mempercayai nasib bangsa ini? Apakah kita harus menggantungkan harapan kepada individu-individu yang mungkin lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan? Ataukah kita harus kembali pada kekuatan rakyat itu sendiri, mempercayakan nasib bangsa ini pada gerakan rakyat yang tulus dan berkomitmen memperjuangkan kebenaran serta keadilan?,” katanya.
Dalam situasi seperti ini, kata Fasya, perlu merenungkan kembali esensi demokrasi itu sendiri, di mana kekuatan sebenarnya berada di tangan rakyat. Ketika kepercayaan terhadap lembaga resmi mulai runtuh, maka inilah saatnya bagi rakyat untuk lebih kritis, aktif, dan terlibat langsung dalam menentukan arah kebijakan bangsa, memastikan bahwa suara mereka tetap menjadi suara yang menentukan masa depan negeri ini. Jadi jangan hanya karena demi kepentingan politik dinasti DPR RI dapat mengubah aturan sesukanya. Negara Indonesia adalah negara hukum, negara Indonesia adalah negara demokrasi, jika aturannya saja masih bisa diubah sesukanya maka dimana letaknya demokrasi negara Indonesia.
Fasya mengajak seluruh Ormawa dan seluruh Elemen Masyarakat untuk terus mengawal putusan MK ini sampai tutas.
“Stop untuk bersikap acuh tak acuh dengan kasus ini, karena sudah saatnya kita mengembalikan lagi Demokrasi Indonesia seperti semula”, tutup Fasya.