BANDA ACEH – Tim Juri Independen Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik, terkesan dengan dua inovasi bidang kesehatan yang dipresentasikan oleh Gubernur Aceh Nova Iriansyah, pada kegiatan presentasi dan wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik, Menuju Top Inovasi Terpuji tahun 2022, yang digelar via konferensi video, di Jakarta dan Meuligoe Gubernur Aceh, Selasa, 28 Juni 2022.
Usai presentasi Gubernur Aceh, Ketua Panel Independen KIPP Prof Kristiadi, mengapresiasi inovasi Pemerintah Aceh dalam bidang kesehatan ini. “Jika demikian, maka metode ini bisa di replikasi, perlu di nasionalkan,” sebutnya.
Sebelumnya, Gubernur Aceh memaparkan inovasi Layanan Terapi Ablasi Gondok Tanpa Operasi (TAGTO) yang selama ini dikembangkan Pemerintah Aceh, menyikapi penyakit gondok masih menjadi masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada gangguan metabolisme dan aktivitas fisiologis pada hampir semua sistem organ tubuh dan prevalensinya mencapai 10-60 persen populasi di seluruh dunia.
“Populasi paling rentan adalah wanita dan lansia, data menunjukkan, 7 dari 10 orang wanita menderita gondok dan kasus gondok juga masih tinggi di Aceh. Operasi adalah terapi utama bagi pasien gondok, tetapi memiliki banyak kelemahan dan efek samping, serta masih banyak pasien gondok yang takut atau menolak operasi. Oleh karena itu, metode TAGTO inilah yang kami kembangkan selama ini,” ujar Gubernur.
Kepada para Panelis, Nova mengungkapkan keunikan dan kebaruan inovasi ini adalah merupakan yang pertama di Indonesia dan Asia Tenggara sejak 2013. Keistimewaan Layanan TAGTO adalah melibatkan berbagai ahli dari multidisiplin ilmu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan sesuai bukti ilmiah terkini.
“Selain itu, layanan TAGTO dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat melalui Program JKN. Keunggulan inovasi Layanan TAGTO lainnya adalah menjadi Pusat Pendidikan dan Pelatihan Diagnosis dan Terapi Invasif Minimal Nodul Tiroid bagi para dokter spesialis penyakit dalam dari seluruh Indonesia,” kata Gubernur.
Gubernur menambahkan, implementasi layanan TAGTO telah menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan jumlah tindakan lebih dari 100 pasien sejak tahun pertama layanan ini dikembangkan. Pasien yang dilayani tidak hanya berasal dari provinsi Aceh saja, tetapi juga dari luar Aceh seperti Medan, Pekan Baru, Palembang, Surabaya dan Kalimantan.
“Layanan TAGTO berdampak signifikan dengan bukti efikasi yang baik. Pada tahun 2014, layanan ini dikembangkan menjadi beberapa modalitas berupa ablasi etanol, radio frekuensi ablasi (RFA), kombinasi ablasi etanol dengan RFA, serta core needle biopsy. Layanan ini juga menjadi salat satu Pusat Diklat Diagnosis dan Terapi Invasif Minimal Nodul Tiroid bagi dokter spesialis penyakit dalam di Indonesia,” sambung Nova.
Gubernur menambahkan, kualitas Layanan TAGTO terbukti setara bahkan lebih baik dibandingkan dengan layanan ablasi gondok di negara maju. Perbandingan hasil terapi ablasi gondok di Indonesia, Taiwan, Turki, Iran dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa, persentase penurunan volume gondok 1 bulan, 6 bulan dan 12 bulan untuk gondok dengan ukuran di atas 2 cm dengan Layanan TAGTO adalah lebih baik dibandingkan dengan 4 negara lainnya.
“TAGTO diberikan menggunakan pembiusan lokal di ruang tindakan rawat jalan, sedangkan di Turki dan Amerika Serikat menggunakan bius umum dan dilakukan di kamar operasi,” imbuh Nova.
Prof Kriatiadi kembali mengapresiasi cara Gubernur Aceh memaparkan bahan presentasinya terkait TAGTO. “Terima kasih atas presentasi Pak Gubernur, dari cara Bapak mempresentasikan, semua orang akan percaya jika Bapak adakah seorang dokter,” katanya.
”Teumuleh Jeut Bagah Puleh”
Sementara itu, pada pemaparan inovasi kedua, Gubernur Aceh mempresentasikan program “Teumuleh Jeut Bagah Puleh” (Menulis Agar Cepat Pulih) yang diaplikasikan di Instalasi Rehabilitasi Napza Rumah Sakit Jiwa Aceh.
“Teumuleh Jeut Bagah Puleh merupakan penyempurnaan program yang sudah dilakukan selama ini di Instalasi Rehabilitasi Napza RSJ Aceh, yang terdiri dari terapi religi, psikoedukasi, konseling individu, latihan keterampilan hidup, morning mee ting, narcotics anonymous, terapi aktivitas kelompok, olahraga, Saturday night activity, Voluntary Counseling and Testing (VCT), family therapy dan pendidikan kesehatan keluarga,” ujar Nova.
“Program menulis bagi residen ini merupakan sarana mengungkapkan perasaan, mengembangkan kreatifitas, mengisi waktu luang dan menghilangkan kejenuhan, juga merupakan bagian dari terapi untuk proses pemulihan dan mengurangi kekambuhan atau relapse,” imbuh Nova.
Gubernur mengungkapkan, program menulis ini berprinsip bahwa semua orang dapat melakukannya tanpa harus berpendidikan tinggi, mempunyai keahlian menulis, memerlukan waktu khusus dan tidak memerlukan teknologi tinggi.
Residen diberikan kebebasan untuk mengekspresikan potensi yang dimilikinya dengan menulis tentang perasaan yang dicurahkan terhadap orang yang mereka rindukan, pengalaman kelam ketika menyalahguna Napza, hingga direhabilitasi dan harapan setelah selesai rehabilitasi.
Nova menambahkan, residen diajarkan menulis dari satu baris menjadi satu paragraf, dari paragraf menjadi satu halaman yang akhirnya dirangkum menjadi sebuah buku berupa kisah-kisah inspiratif yang menggugah.
“Buku tersebut berjudul “Menyibak Tabir Korban Penyalahguna Napza,” dan hingga saat ini belum ada informasi ataupun laporan adanya Instansi atau lembaga rehabilitasi Napza lainnya yang memiliki program menulis sampai menghasilkan sebuah buku seperti di Instalasi Rehabilitasi Napza Rumah Sakit Jiwa Aceh,” ungkap Nova.
Gubernur menjelaskan, sebelum penerapan program inovasi ini dijalankan, umumnya residen masih kurang percaya diri dalam mengekspresikan perasaan, ide kreatif dan pengakuan aktualisasi dirinya.
Setelah diterapkannya program inovasi menulis, residen terlihat lebih percaya diri dalam mengekspresikan perasaan secara terbuka, meningkatnya kemampuan berpikir dan konsentrasi sehingga dapat menuangkan ide-ide kreatif dalam tulisannya, waktu luang terisi dengan aktivitas menulis yang dapat menghilangkan ke jenuhan, mengalihkan diri dari keinginan kembali menggunakan narkoba.
Gubernur optimis, program ini akan berpengaruh positif kepada para residen saat beradaptasi kembali dalam lingkungan masyarakat, sehingga terjadi penurunan kasus kekambuhan (relapse) serta stigma di masyarakat.
“Berdasarkan data dari Instalasi Rehabilitasi Napza, terjadi penurunan angka kekambuhan residen yang sudah selesai menjalani program rehabilitasi Napza sejak tahun 2019, dimana pada tahun 2019 dijumpai 11 residen mengalami kekambuhan dari total 80 residen yang pernah direhabilitasi mencapai 13,8 persen, Tahun 2020 sejumlah 6 residen dari 129 residen atau sebesar 4,7 persen dan Tahun 2021 sejumlah 4 residen dari 123 residen atau 3,3 persen,” kata Nova.
Untuk diketahui bersama, Instalasi rehabilitasi Napza RSJ Aceh didirikan pada Tahun 2010 dengan kapasitas 25 tempat tidur dan saat ini sudah memiliki 54 tempat tidur, dan merupakan salah satu layanan unggulan yang terus dilakukan pengembangannya.
Data pengguna Napza yang direhabilitasi (residen) di RSJ Aceh pada Tahun 2019 sebanyak 80 orang, Tahun 2020 sebanyak 129 orang dan Tahun 2021 sebanyak 123 orang.