Oleh Ir. Razali AR
Caleg DPD RI Aceh
Hari ini, Selasa, 24 Oktober 2023, saya tiba di pintu gerbang masuk provinsi Aceh melalui jalur darat yang berlokasi di pesisir utara timur, yang merupakan batas antara Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, dan Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Ada juga satu gerbang masuk lainnya ke Aceh yang terletak di sisi barat daya, yang merupakan batas antara Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, dan Kota Subulsalam, Provinsi Aceh.
Melalui dua gerbang ini, sumber daya Aceh mengalir menuju Medan sepanjang siang dan malam, terutama produk alam dalam bentuk bahan mentah (tanpa pengolahan), seperti hasil perikanan tangkap dan budidaya, pinang, padi, minyak kelapa sawit mentah (Cruide Palm Oil), pala, dan produk perkebunan lainnya.
Sayangnya, harga produk-produk asli Nanggroe Aceh ini sepenuhnya ditentukan oleh pedagang besar di Medan yang beroperasi dalam bentuk oligopoli. Para pedagang Aceh tidak memiliki banyak pilihan, karena Medan adalah tujuan akhir penjualan mereka.
Ketika saya menjabat sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh (2006-2012), saya mendengar dari para pedagang Aceh bahwa harga ikan tertentu di Medan dihargai dengan angka tertentu, sehingga mereka layak membawanya ke Medan. Namun, ketika ikan-ikan tersebut mendekati Medan, harga mereka turun dengan alasan banyak ikan yang masuk dari daerah seperti Asahan, Sibolga, dan lain-lain. Akhirnya, para pedagang Aceh harus menjual ikan-ikan tersebut karena sifatnya yang mudah rusak dan tidak dapat disimpan untuk waktu yang lama. Ini berarti bahwa para pedagang Aceh, termasuk nelayan dan pembudidaya, memiliki posisi tawar yang lemah, terutama dalam rantai pasca panen dan tata niaga.
Hipotesis saya adalah bahwa situasi ini merupakan salah satu penyebab Aceh menjadi provinsi termiskin di Sumatera dan peringkat keenam termiskin secara nasional. Ini terlepas dari pro dan kontra seputar kevalidan data Badan Pusat Statistik (BPS). Data resmi yang saya gunakan sebagai referensi adalah data dari BPS.
Cerita tentang komoditas padi lebih menyedihkan. Ketika musim panen tiba, truk-truk milik pedagang Medan langsung datang ke lokasi panen untuk membeli padi yang baru dipanen, dengan pembayaran “cash and carry”.
Praktis tidak ada pengolahan yang dilakukan oleh petani atau pedagang Aceh. Nilai tambah pasca panen padi sudah tidak lagi dimiliki oleh Aceh. Padi Aceh diolah di Medan dengan peralatan canggih dan dikemas dengan menarik, lalu dijual kembali di Aceh.
Orang sering mengatakan, “Sapi punya susu, kaleng punya nama.” Hal yang sama terjadi dengan produk perikanan Aceh yang diekspor melalui Medan, sehingga data ekspor dicatat dalam statistik Provinsi Sumatera Utara.
Pertanian padi sawah selama ini menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang kurang terampil. Namun, sekarang sudah digantikan oleh mesin.
Tanah diolah dengan traktor, panen dilakukan dengan mesin kombinasi. Pengamatan saya menunjukkan bahwa hanya beberapa ibu di Aceh yang masih menanam padi, dan kedepannya, mereka juga akan digantikan oleh mesin. Implikasinya sangat besar, karena banyak tenaga kerja menjadi menganggur.
Cerita tentang komoditas sawit memiliki perbedaan yang mencolok. Produksi tandan buah segar (TBS) masih diproses di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di wilayah Provinsi Aceh menjadi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Semua produk CPO ini kemudian diangkut ke Medan melalui jalur darat, terutama masuk ke Kawasan Industri Medan (KIM). Pengolahan lanjutan hingga menjadi produk akhir dilakukan di luar wilayah Aceh. Banyak produk turunan dari pengolahan CPO, terutama minyak makanan, sabun, dan sebagainya, yang kemudian dijual kembali di Aceh.
Berbeda halnya dengan komoditas sagu, di mana penduduk Aceh Singkil membawa sagu ke Medan dalam bentuk pohon yang telah dipotong-potong, tanpa perlakuan tambahan.
Gambaran di atas mengindikasikan bagaimana Aceh memasok bahan baku bagi industri di Provinsi Sumatera Utara (Sumut), sementara Aceh sendiri menjadi pasar yang menampung produk-produk dari industri Sumut dengan harga jual yang lebih tinggi.
Selain barang dari luar wilayah, tenaga kerja juga datang dari luar Aceh, terutama dari Sumut dan Pulau Jawa, dengan upah yang relatif lebih rendah. Akibatnya, lapangan kerja di Aceh diisi oleh pekerja dari luar wilayah. Upah yang diperoleh oleh pekerja ini biasanya dikirim kembali ke kampung halaman masing-masing, sehingga tidak ada reinvestasi atau sirkulasi ekonomi yang signifikan di Aceh. Dengan kata lain, terdapat ketidakseimbangan dalam arus modal dan tenaga kerja dari Aceh ke wilayah luar Aceh.
Pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana mengatasi kondisi ini dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang?
Dengan memahami akar masalahnya, langkah-langkah konkret dapat dirancang sesuai dengan potensi, tantangan, peluang, dan permasalahan yang ada. Penulis mengusulkan solusi secara umum untuk memicu diskusi dan mendorong ide-ide inovatif yang dapat diimplementasikan.
Salah satu cara paling efektif untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan ini adalah dengan meningkatkan pembangunan daerah yang berorientasi pada industrialisasi yang dilakukan secara terpadu dan berbasis tematik, mulai dari hulu ke hilir, dengan tujuan ekonomi yang menguntungkan.
Ini bisa mencakup perbaikan infrastruktur, pembangunan pasar yang terintegrasi, pengembangan tempat wisata, pembangunan kawasan UMKM, kawasan pertanian terpadu, dan lain sebagainya dengan menerapkan teknologi terkini.
Selain itu, perlu meningkatkan keterampilan dan pelayanan sumber daya manusia, serta menciptakan regulasi yang mendukung petani, nelayan, pelaku UMKM, dan eksportir. Faktor regulasi yang proaktif untuk kepentingan mereka adalah hal yang harus diperjuangkan oleh semua pihak, termasuk para pemangku kepentingan.
“Saya akan berkomitmen untuk memperjuangkan regulasi-regulasi tersebut bila saya diberi amanah oleh Allah menjadi wakil rakyat di DPD RI Aceh inshaallah.”