Polisi di Era Digital: Antara Tindakan dan Narasi

Oleh: Jabbar, AMIPR.

Di era digital seperti sekarang, batas antara dunia nyata dan dunia maya nyaris hilang. Setiap peristiwa bisa direkam, diunggah, dan dihakimi publik dalam hitungan detik. Bagi institusi Kepolisian, perubahan ini membawa tantangan besar, di mana tindakan di lapangan tak lagi cukup tanpa narasi yang membingkai makna.

Derasnya arus informasi, menuntut polisi bukan hanya untuk berbuat baik, tetapi juga mampu menunjukkan dan menceritakan kebaikan itu dengan benar. Selama ini, banyak anggota Polri bekerja dengan hati dan dedikasi tinggi. Mereka hadir di tengah masyarakat tanpa publikasi—menjadi guru bagi anak-anak di pedalaman, membantu korban banjir, mengantar ibu hamil ke rumah sakit, hingga menginisiasi gerakan sosial demi kemanusiaan.

Namun, tidak semua kisah itu sampai ke ruang publik. Di sisi lain, satu video pendek yang direkam tanpa konteks bisa langsung menyebar luas dan membentuk opini negatif tentang institusi secara keseluruhan. Fenomena ini menggambarkan bahwa persepsi publik sering kali lebih kuat dari fakta. Apa yang terlihat menjadi lebih berpengaruh daripada apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam situasi seperti ini, peran komunikasi menjadi krusial. Kehumasan Polri pun tidak lagi sekadar menyampaikan rilis atau klarifikasi, tetapi berfungsi sebagai jembatan antara tindakan polisi di lapangan dengan pemahaman masyarakat.

Polri harus mampu menjelaskan konteks, membangun dialog, dan menumbuhkan empati publik melalui narasi yang konstruktif. Di sisi lain, mereka juga memiliki tantangan, bukan hanya melawan hoaks atau disinformasi, melainkan bagaimana menghadirkan kebenaran dengan cara yang mudah diterima publik.

Ilustrasi Foto Polisi saat Melaksanakan Tugas.

Kecepatan informasi membuat dunia digital tak memberi ruang bagi kelambatan. Begitu juga bila suatu isu menerpa institusi atau oknum Polisi. Langsung mencuat, diviralkan, bahkan dinarasikan macam-macam, sehingga berubah menjadi persepsi publik yang sulit dikendalikan.

Kita tak bisa menutup mata bahwa media sosial telah melahirkan ruang opini yang dinamis sekaligus bising. Polisi yang menegakkan hukum bisa disalahpahami sebagai arogan, sementara pelaku pelanggaran bisa dipersepsikan sebagai korban karena narasi yang lebih cepat menyebar.

Dalam konteks ini, keadilan persepsi menjadi hal yang penting. Fakta di lapangan sering kali kalah oleh framing di media sosial. Oleh karena itu, setiap personel Polri kini harus menjadi komunikator publik. Setiap ucapan, tindakan, dan unggahannya di dunia maya dinilai akan berkontribusi terhadap citra institusi.

Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa, komunikasi yang baik bukan pencitraan, tetapi memperlihatkan kebenaran dengan cara yang beradab dan humanis. Publik kini lebih mudah tersentuh oleh kisah yang hangat dan personal daripada laporan yang formal. Maka, storytelling menjadi salah satu strategi komunikasi yang relevan bagi Polri.

Cerita tentang anggota yang mengajar anak-anak yatim, memperbaiki jembatan desa, atau menyumbangkan gaji untuk warga kurang mampu, bisa membangun kepercayaan publik lebih kuat daripada seribu klarifikasi. Di situlah makna penting narasi—bukan untuk memoles, melainkan untuk menghadirkan sisi humanis dari seragam polisi.

Namun, menjaga citra bukan hanya tugas bidang kehumasan. Ini adalah tanggung jawab bersama. Setiap anggota adalah duta nilai-nilai Polri di mata masyarakat. Karena itu, literasi digital harus menjadi kompetensi dasar bagi setiap personel, agar bijak dalam bermedia dan mampu menyampaikan pesan dengan tepat.

Ilustrasi Foto saat Polisi Melaksanakan Tugas.

Pada akhirnya, kekuatan Polri tidak hanya diukur dari banyaknya kasus yang diselesaikan, tetapi dari seberapa besar kepercayaan masyarakat yang berhasil dijaga. Kepercayaan itu tidak lahir dari kata-kata indah, tetapi dari konsistensi tindakan yang dibungkus komunikasi yang tulus.

Polri boleh saja memiliki ribuan prestasi, namun tanpa narasi yang menghidupkan maknanya, semua itu bisa tenggelam di tengah riuhnya isu negatif. Sebaliknya, satu tindakan kecil yang dikisahkan dengan jujur bisa menjadi cahaya yang menerangi persepsi publik tentang institusi ini.

Polisi di era digital hidup di dua ruang, yaitu ruang nyata dan ruang narasi. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menegakkan hukum dengan profesional, di sisi lain mereka harus bijak mengelola persepsi publik yang terbentuk dari informasi yang terus bergerak. Kini, tindakan dan narasi bukanlah dua hal yang terpisah.

Tindakan memberi substansi, narasi memberi makna. Ketika keduanya berjalan seimbang, kepercayaan publik akan tumbuh, dan Polri akan tetap berdiri sebagai institusi yang tidak hanya bekerja, tetapi juga dipercaya.

Penulis adalah Praktisi Kehumasan yang saat ini bertugas sebagai Staf PR Polda Aceh. Saat ini, ia juga dipercaya sebagai Wasekjen BPC Perhumas Aceh.

BERITA MINGGUAN

TERBARU

BERITA TERHANGAT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT