Banda Aceh, JBA – Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) menjadi ruang edukasi bagi setiap masyarakat untuk mengenal dan mengenang kembali peninggalan sejarah Aceh masa lampau. Masing-masing 23 kabupaten/kota, memiliki cerita dan kisah tersendiri akan adat dan budayanya.
Momen PKA-8 yang berlangsung di Taman Sulthanah Safiatuddin, Kabupaten Bireuen termasuk salah satu anjungan yang menarik untuk dikunjungi. Di sana, para pengunjung akan menemukan ragam cerita tentang Kota Juang.
Bireuen merupakan salah satu daerah paling bersejarah bagi bangsa ini, karena pernah ditetapkan sebagai ibu kota Republik Indonesia kedua pada 18 Juni 1948, tepat saat Agresi Militer Belanda II (1947-1948).
Saat memasuki anjungan Bireuen, pertama sekali pengunjung akan disuguhkan tentang sejarah Indonesia – Malaysia abad ke-16 dalam sejarah dua bangsa (Tun Sri Lanang Raja Samalanga). Kisah itu terpajang di dinding ruang utama pintu masuk.
Kemudian di sisi kiri dan kanan lorong kecil menuju ruang tengah, pengunjung akan melihat benda-benda yang memiliki nilai historis masyarakat Bireuen terdahulu seperti Chok Pineung (penumbuk pinang), Lesung Tembaga, Ceurupa Bakong, Bate Ranup, dan berbagai jenis rempah-rempah.
Sementara di ruang tengah, pengunjung akan menemukan peta Kabupaten Bireuen. Di sana juga ada juga ada beberapa benda seperti Sikin Peusangan (salah satu jenis pedang Aceh), Kande (lampu minyak), dan Peudeung Tumpang Jengki (pedang pejuang Aceh masa lalu).
Ada juga Kayee Pok Teumpeun, peralatan tenun Aceh terbuat dari kayu yang sudah berusia ratusan tahun. Kayu tersebut berfungsi untuk menarik benang, dan membentuk motif tenunan sutra Aceh. Serta Kaye Didoeh (kayu tenun) periode abad 18-19 Masehi, asal Matang Geulumpang Dua, Kecamatan Dua.
Selain itu juga ada salah satu peninggalan masyarakat Bireuen yang dulunya kerap digunakan oleh wanita baru melahirkan, Panteu Madeung. Alat ini turut ditampilkan, karena memiliki nilai dan misah menarik di baliknya.
Panteu Madeung digunakan oleh para wanita yang baru melahirkan. Dalam proses Sale Madeung, di bawah panteu-nya terdapat tungku penghangat yang di bakar dengan rempah-rempah.
Panteu Madeung ini juga termasuk bagian dari pengobatan tradisional. Rempah digunakan untuk rebusan air minum dan rendaman sauna, lalu ada batu yang sudah di sale kemudian diletakkan atas perut setelah memakan gurita, dengan tujuan untuk merapatkan otot perut setelah melahirkan.
“Panteu Madeung ini dulu dipergunakan masyarakat Bireuen untuk perempuan yang baru melahirkan. Sekarang sudah jarang karena rata-rata melahirkannya operasi,” kata Azizah salah seorang penjaga di Anjungan Bireuen, Sabtu 11 November 2023.
Menurut Azizah, Panteu Madeung adalah bagian dari perawatan wanita yang baru melahirkan. “Kita bilang adat juga iya, karena masyarakat dulu memang seperti itu. Sekarang kalau di kampung-kampung masih ada mungkin,” ucapnya.
Proses Panteu Madeung tersebut, kata Azizah, digunakan satu minggu pasca melahirkan. Adapun ramuan yang direbus dan diminum, dan juga dipakai untuk mandi agar wanita baru melahirkan itu tetap wangi.
“Seminggu setelah melahirkan, tidak setiap hari juga, tapi dikondisikan. Panteu Madeung ini diletakkan di kamar,” pungkasnya.