BANDA ACEH – Masyarakat Aceh Barat Daya (Abdya) punya tradisi khusus bagi pengantin yang hendak melangsungkan pesta pernikahan. Sehari sebelum pesta, pengantin akan diberikan nasihat lewat tradisi manoe pucok.
Tradisi manoe pucok sudah dipraktekkan secara turun temurun di kalangan masyarakat Abdya. Saat tradisi berlangsung, pihak keluarga berkumpul dan pengantin duduk di tempat yang disiapkan. Salawatan terucap dari sanak famili secara bersahutan.
Pengantin mendapat wejangan dan nasihat-nasihat. Suasana haru menyelimuti dalam tradisi manoe pucok itu. Baik pengantin maupun warga yang menonton, tak sedikit akhirnya meneteskan air mata. Acara diakhiri dengan memandikan pengantin lalu diangkat ke dalam rumah.
“Sebenarnya upacara manoe pucok ini dalam rangka semacam memberikan nasihat-nasihat untuk mengingatkan kepada pengantin yang memasuki masa pernikahan dan akan menjadi keluarga baru,” kata Wakil Kepala Sekretariat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 Kontingen Abdya, Usmadi, Rabu 8 November 2023.
Bagi masyarakat di Abdya, manoe pucok menjadi momen sakral yang harus diikuti pengantin. Upacara manoe pucok secara harfiah berarti manoe adalah mandi dan pucok yakni pucuk daun paling atas dari sebatang pohon kelapa.
Namun pucok dalam upacara ini bermakna perbuatan terakhir yang dilakukan oleh kedua orang tua kepada anaknya dan ungkapan yang disimbolkan dalam pembersihan diri sebelum menempuh kehidupan yang baru. Upacara manoe pucok lazimnya melibatkan satu grup peumanoe pucok berjumlah delapan orang: terdiri seorang syahi dan tujuh orang aneuk syahi.
Nasihat yang diberikan pun tidak sembarangan. Ada kisah-kisah khusus yang dibacakan salah satunya tentang kesabaran Zainab ketika melepas anaknya Saidina Hasyem ke medan perang.
“Manoe pucok ini selalu menghadirkan keluarga inti sehingga mereka juga bisa mendengar atau memberi nasihat,” jelas mantan pamong budaya itu.
Momen paling mengharukan manoe pucok ketika orang tua kedua pengantin telah menghadap Sang Khalik. Usmadi menjelaskan, bila hal seperti itu terjadi, wali dari sang pengantin lah yang menjadi pengganti.
“Makanya ini perlu adanya wali-wali yang hadir ke sana mendengarkan nasihat-nasihat, sehingga selagi dia (pengantin) nikah ada yang memperhatikan dia sebagai sebuah keluarga yang utuh,” jelasnya.
Tradisi manoe pucok juga rencananya akan ditampilkan di anjungan Aceh Barat Daya di Taman Sulthanah Safiatuddin, Banda Aceh. Panitia anjungan Abdya telah menyiapkan jalan cerita untuk memperkenalkan tradisi itu ke masyarakat luas.
Selain untuk pengantin, anak yang akan menjalani sunat rasul juga mengikuti upacara manoe pucok. Nasihat bagi anak yang ingin sunat rasul itu berbeda dengan pengantin.
“Nasihat bagi anak yang menjalani sunat rasul berupa petuah untuk dia memasuki masa dewasa dan pubertas,” ujarnya.
Usmadi berharap tradisi itu dapat ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) untuk melestarikan budaya tersebut. Hasil kajian telah dilakukan serta di sana juga memiliki maestro yang paham upacara tersebut.
“Tradisi ini sudah merakyat di Abdya. Ini salah satu faktor pendukung manoe pucok bisa ditetapkan sebagai WBTB,” pungkas Usmadi.