Banda Aceh, JBA – Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) mengadakan kajian tasawuf bertema “Mengapa Hati Perlu Dihidupkan?” Acara yang berlangsung di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Senin malam, 28 April 2025 ini sebagai upaya membangun kesadaran spiritual dan intelektual di tengah masyarakat modern. Acara ini menghadirkan dua narasumber yang memiliki latar belakang keilmuan dan pengalaman sufistik, serta dipandu oleh pengajar Tasawuf Modern, Tgk. Alwy Akbar Al Khalidi, S.H., M.H.
Pemateri pertama, Tgk. H. Umar Rafsanjani, Lc., M.A., membahas lima tingkatan hati sebagaimana dikenal dalam tradisi tasawuf. Pertama qalbu, sebagai tempat iman dan awal kesadaran ruhani. Kedua ruh, pusat rasa cinta, takut, dan pengharapan kepada Allah. Ketiga sirr, dimensi rahasia batin yang menjadi ruang ma’rifatullah. Keempat khafi, kesadaran yang tersembunyi dari ego dan nafsu. Kelima akhfa, tingkatan paling tinggi dan paling tersembunyi yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang telah mencapai kesucian jiwa secara totalitas.
Menurut Tgk. Umar, perjalanan menuju hati yang hidup memerlukan disiplin spiritual, zikir, dan pengenalan diri yang mendalam.
“Seseorang tidak akan pernah benar-benar mengenal Tuhannya sebelum ia mengenal dirinya sendiri, dan itu hanya mungkin jika hati dalam keadaan hidup dan bersih,” tegas Pimpinan Dayah Mini Aceh ini.
Pemateri kedua, Tgk. Wahyu Mimbar, M.Ag., menjelaskan metode menghidupkan hati melalui Thariqat Naqsyabandiyah, salah satu tarikat muktabarah yang memiliki silsilah sanad bersambung hingga Rasulullah SAW melalui Sayidina Abu Bakar As-Siddiq.
Tgk. Wahyu menyoroti pentingnya praktik zikir khafi (zikir dalam diam), muraqabah (pengawasan batin terhadap Allah), dan pentingnya bimbingan mursyid dalam menyusuri jalan spiritual.
“Naqsyabandiyah mengajarkan bahwa diamnya lisan tidak berarti diamnya hati. Justru di situlah zikir sejati bekerja, membersihkan qalbu dari gelapnya dunia dan mengangkat ruh menuju hadirat-Nya,” ungkap Wakil Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah ini.
Moderator, Tgk Alwi Akbar Al Khalidi menyampaikan kehidupan hati merupakan inti dari perjalanan ruhani seorang muslim. Hati, dalam perspektif tasawuf, bukan sekadar organ biologis, melainkan pusat ruhani yang menjadi cermin hubungan seorang hamba dengan Tuhan.
Ia menekankan bahwa menghidupkan hati bukan sekadar tema kajian keilmuan, tetapi kebutuhan ruhani manusia modern yang semakin teralienasi dari nilai-nilai rohaniah.
“Kajian ini mengingatkan kita bahwa menghidukan hati bukan hanya wacana sufistik, tetapi kebutuhan eksistensial manusia. Ketika hati hidup, maka seluruh dimensi kehidupan menjadi bercahaya. Sebaliknya, hati yang mati melahirkan kehampaan di balik rutinitas ibadah dan kehidupan sosial,” kata aktivis dayah ini.
Moderator juga berharap kajian-kajian serupa dapat dilanjutkan secara berkala untuk membangun keseimbangan antara intelektualitas dan spiritualitas di kalangan akademisi dan masyarakat umum.
Acara ini berlangsung khidmat dan mendapatkan antusiasme tinggi peserta, yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, tokoh masyarakat, serta jamaah pengajian umum. Diskusi berjalan interaktif, dan para peserta mengaku mendapatkan wawasan baru tentang pentingnya dimensi batin dalam menjalani kehidupan beragama yang utuh.