Singkil, jaringanberitaaceh.com – Hari terakhir pelaksanaan Ekspedisi Sungai Singkil menjadi momen penuh cerita bagi Komunitas Pemuda Singkil Peduli Budaya bersama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I. Pada Jumat, 14 November 2025, rombongan melanjutkan penelusuran dari Desa Lentong menuju Desa Longkip, wilayah pedalaman yang berada di sudut kampung Kabupaten Subulussalam.
Lentong: Kampung Tua yang Bertahan di Perbatasan Sungai
Lentong dikenal sebagai kampung tua yang telah eksis sejak masa kerajaan. Terletak tepat di perbatasan sungai antara Aceh Singkil dan Subulussalam, desa ini sejak dahulu menjadi titik penting dalam jalur perjalanan dan aktivitas masyarakat.
Jejak sejarah Lentong tampak dari berbagai peninggalan budaya yang masih dirawat warga, mulai dari tarian tradisional, alat musik daerah, hingga benda-benda warisan yang dikaitkan dengan Raja Makhuta—tokoh penting dalam sejarah masyarakat Singkil.
Tak hanya budaya, Lentong juga dianugerahi keindahan alam yang memukau. Danau Bungara seluas lebih dari 85 hektare yang menghubungkan empat kampung di Kecamatan Kota Baharu kini berkembang menjadi destinasi wisata pilihan. Pemandangannya yang tenang dan luas menjadikannya salah satu pesona tersembunyi di Aceh Singkil.
Longkip: Harmoni Tradisi dan Kehidupan Bersahaja

Perjalanan ekspedisi kemudian berlanjut ke Desa Longkip di Kecamatan Longkib, Kota Subulussalam. Desa ini menyuguhkan suasana pedalaman yang natural dengan rumah-rumah warga yang tertata rapi di tepi sungai—sungai yang menjadi pusat hampir seluruh aktivitas masyarakat.
Kedatangan rombongan disambut hangat dengan pertunjukan tari gampeng dan tari mocca, dua kesenian tradisional yang hingga kini masih dijaga sebagai identitas budaya Longkip.
Salah satu hal yang menarik, masyarakat Longkip memandang sungai mereka sebagai tempat yang aman. Berbeda dengan wilayah hilir yang kerap terdampak konflik dengan buaya, anak-anak di Longkip masih bebas mandi dan bermain di sungai tanpa rasa takut—sebuah pemandangan yang memperlihatkan kedekatan masyarakat dengan alam.
Melihat Peninggalan Raja Makhuta

Selama kunjungan, peserta ekspedisi juga berkesempatan melihat sejumlah peninggalan Raja Makhuta, ayah dari Raja Aman Syah dan Raja Ulasi. Bapak Tamat, keturunan keempat Raja Makhuta yang kini berusia 63 tahun, menunjukkan beberapa benda pusaka yang masih tersimpan dengan baik.
Salah satu yang paling menarik adalah kayu kapur, yang menurut kepercayaan masyarakat setempat mampu menghalau musibah kebakaran.
“Kalau terjadi kebakaran, insyaallah api tidak akan sampai ke tempat kayu kapur ini disimpan,” ujar Bapak Tamat.
Selain itu, terdapat pula bambu pusaka dan pedang peninggalan Raja Makhuta. Pedang yang pernah digunakan saat pertempuran ini masih memiliki bilah asli, meskipun gagangnya sudah diganti. Nilai sejarahnya tetap tinggi dan menjadi bagian penting dari warisan keluarga.
Kepala Pemukiman Desa Lentong, Asmirul Caphah, turut menegaskan pentingnya peninggalan tersebut bagi masyarakat.
“Bagi kami, peninggalan kerajaan sangat berharga. Walaupun bagi orang lain mungkin tidak berarti, tetapi sebagai warisan Raja Menggukit, itu memiliki nilai yang besar bagi kami. Kalau bisa, tolong sampaikan juga kepada media lainnya bahwa peninggalan kerajaan kami masih ada,” tutur Kepala Pemukiman, Asmirul Caphah.
Warisan yang Terus Hidup
Hari terakhir Ekspedisi Sungai Singkil tidak hanya memperkaya pengetahuan peserta mengenai kekayaan budaya dan sejarah pedalaman Singkil–Subulussalam, tetapi juga memperlihatkan bagaimana tradisi dan kearifan lokal tetap bertahan di tengah laju perkembangan zaman.
Dari Lentong hingga Longkip, jejak peradaban, kearifan masyarakat, dan kehidupan yang bersahaja menjadi pengingat bahwa Sungai Singkil bukan sekadar aliran air—melainkan jalur warisan budaya yang terus hidup dalam cerita, tarian, pusaka, dan kehidupan masyarakat di sepanjang alirannya.




