Bahasa Cinta Sang Ibu

(Kisah sederhana tentang cinta, ketulusan, dan makna perjuangan yang tak pernah lekang oleh waktu).

Pagi itu masih berbalut embun. Langit belum sepenuhnya terang, dan sinar mentari baru mulai menembus sela-sela dedaunan yang rimbun di pinggir jalan. Udara terasa lembut membelai wajah, membawa aroma tanah yang lembab dan segar. Di tengah kesunyian yang perlahan hidup, terdengar suara mesin motor kecil menyelinap pelan, memecah kesenyapan dengan nada yang lembut namun pasti.

Di atas motor sederhana itu, tampak seorang ibu dengan jaket lusuh, tangan menggenggam erat setang, dan pandangan menatap lurus ke depan. Di belakangnya, seorang anak duduk teduh, mengenakan seragam sekolah yang masih rapi dan bersih, dengan tas cokelat yang menggantung di punggung mungilnya. Motor tua itu melaju perlahan di jalan yang panjang dan teduh, diapit pohon-pohon yang seolah ikut menyaksikan perjalanan kasih antara ibu dan anaknya.

Bagi sebagian orang, pemandangan ini mungkin biasa saja. Namun, bagi siapa pun yang mau berhenti sejenak dan meresapi maknanya, di sanalah keagungan hidup berbicara dalam bahasa yang sunyi.

Setiap pagi, ibu itu selalu mengulang kisah yang sama. Bangun sebelum fajar, menyiapkan sarapan sederhana, menyetrika seragam anaknya yang masih lembab dari jemuran malam tadi, lalu memastikan semuanya siap sebelum jam sekolah tiba. Tak jarang, ketika sang anak masih terlelap, ibu itu sudah lebih dulu beraktivitas. Ia menanak nasi, mengisi botol air, dan membungkus bekal sederhana, kadang hanya nasi dengan telur goreng dan sambal,namun dibuat dengan sepenuh cinta.

Ketika sang anak bangun, ia disambut dengan senyum lembut yang menghangatkan pagi. “Ayo, Nak, bangun. Waktu sekolah sudah dekat,” katanya lirih. Tak ada kata keluhan di wajahnya, meski tubuhnya lelah karena malam sebelumnya masih bekerja atau mengurus rumah hingga larut. Ia hanya tahu satu hal: anaknya harus sekolah, harus belajar, harus bisa menatap masa depan dengan harapan yang lebih luas daripada dirinya dulu.

Sang ibu tidak punya banyak harta. Motor tua yang kini mereka tunggangi adalah satu-satunya alat transportasi yang dimilikinya. Suaranya kadang serak, tenaganya tak sekuat dulu, namun setiap pagi motor itu menjadi saksi dari perjalanan cinta yang sederhana tapi mendalam. Di jalan yang panjang, kadang mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh. Angin pagi menyapa lembut wajah keduanya, menimbulkan dingin yang menggigit. Namun dalam setiap hembusan angin itu, ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan: kehangatan dari hati seorang ibu yang tulus mengantarkan anaknya menuju ilmu dan masa depan.

Ada kalanya hujan turun di pagi hari. Rintik-rintik air membasahi jalanan, dan kabut tipis menutupi pandangan. Tapi sang ibu tak pernah menyerah. Dengan mantel plastik yang mungkin sudah usang, ia tetap mengantar anaknya. “Tak apa basah sedikit, Nak, yang penting jangan terlambat,” ucapnya sambil menepuk pundak sang anak lembut.

Di matanya, perjuangan bukanlah sesuatu yang besar dan bising. Perjuangan justru lahir dalam kesunyian, dalam keteguhan yang tidak banyak disadari orang lain. Ia tak pernah memamerkan lelahnya, tak pernah mengeluh tentang kerasnya hidup. Ia hanya berjalan, terus berjalan, seperti sungai yang mengalir sabar menuju laut.

Bagi sang anak, perjalanan setiap pagi itu mungkin terasa seperti rutinitas. Tapi suatu hari nanti, ketika ia tumbuh dewasa dan melihat kembali ke masa kecilnya, ia akan menyadari betapa besar cinta yang telah menopangnya selama ini. Ia akan mengingat dengan jelas aroma pagi itu, getaran sepeda motor tua yang melaju pelan, dan hangatnya punggung ibunya yang selalu ia peluk diam-diam di perjalanan. Di sanalah cinta sejati menanamkan akar yang paling dalam.

Ibu adalah sosok yang tidak pernah meminta balasan. Ia mencintai tanpa syarat, memberi tanpa batas, dan berkorban tanpa pamrih. Ia mungkin tak punya banyak kata untuk mengungkapkan kasihnya, tapi setiap gerak tubuhnya, setiap langkah kakinya, adalah bahasa cinta yang tak terbaca oleh mata, melainkan oleh hati.

Saat motor itu melaju di antara pepohonan, seolah alam pun ikut berdoa. Burung-burung berkicau di dahan, daun-daun melambai perlahan tertiup angin, dan sinar matahari mulai hangat menyapa bumi. Semua seakan tahu, bahwa di jalan itu sedang lewat kisah paling murni yang pernah ada—sebuah kisah tentang ibu yang tak kenal lelah mengantar anaknya menjemput masa depan.

Di sela perjalanan, mungkin sang ibu sempat berdoa dalam hati, “Ya Allah, kuatkan langkah anakku. Jadikan ilmunya cahaya bagi dirinya dan bagi orang lain. Jika aku tak lagi mampu menuntunnya suatu hari nanti, bimbinglah ia dengan kasih-Mu.” Doa yang sederhana, tapi menyentuh langit. Doa yang mungkin tak terdengar, tapi menggema dalam kehidupan sang anak selamanya.

Perjuangan seorang ibu bukan hanya tentang tenaga yang tercurah, tapi juga tentang pengorbanan batin yang kadang tak terlihat. Ia rela menahan lapar agar anaknya kenyang, rela tidak membeli baju baru agar bisa membeli buku pelajaran, rela menunda kebahagiaan pribadi demi masa depan anak yang ia cintai.

Ketika hari terasa berat, ia hanya menatap wajah anaknya, dan seketika semua lelah sirna. Karena di wajah itulah harapan hidupnya bersemayam. Di mata anaknya, ia melihat alasan mengapa ia harus terus melangkah. Ia tidak mencari pujian, tidak menanti terima kasih, karena bagi seorang ibu, kebahagiaan sejati adalah melihat anaknya tumbuh dengan baik.

Ketika motor tua itu akhirnya berhenti di depan gerbang sekolah, sang anak turun, menatap ibunya dengan senyum kecil. “Terima kasih, Bu,” katanya pelan. Ibu itu hanya mengangguk, membalas dengan senyum yang hangat dan penuh cinta. Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Masih ada hari esok, masih ada pagi lain yang menantinya, dan selama napasnya masih berhembus, ia akan terus menjalani peran itu, peran yang mungkin sederhana, tapi begitu agung di mata Tuhan.

Ketika motor itu kembali melaju, meninggalkan gerbang sekolah, angin kembali mengibaskan ujung jilbabnya. Di balik punggungnya yang kecil tersimpan kekuatan besar. Ia adalah pahlawan tanpa pangkat, tanpa sorotan, tapi namanya akan selalu hidup dalam doa anak-anaknya.

Dalam setiap detak kehidupan, ada jutaan ibu seperti dirinya yang bangun lebih awal dari matahari, yang menyiapkan masa depan tanpa tanda jasa, yang berjuang tanpa tepuk tangan. Merekalah cahaya yang tak pernah padam, sumber cinta yang tak pernah habis, dan saksi nyata bahwa kasih seorang ibu adalah bentuk paling murni dari pengorbanan manusia.

Dan di jalan panjang yang teduh itu, di antara suara motor tua yang berderu lembut, terpatri sebuah pelajaran hidup: cinta sejati tak butuh kemewahan, cukup ketulusan yang lahir dari hati. Karena sesungguhnya, perjuangan seorang ibu adalah syair kehidupan, ditulis dengan air mata, dibacakan dengan doa, dan diabadikan dalam setiap langkah anak-anaknya menuju masa depan.

*Pagi itu bukan sekadar perjalanan menuju sekolah. Pagi itu adalah kisah cinta yang tak lekang oleh waktu, kisah tentang ibu, tentang kasih yang tak pernah habis, dan tentang perjuangan yang mengajarkan arti sejati dari kata “pengorbanan.”

*Rouzatun Jannah (ASN KUA Kuta Cot Glie, Kankemenag Aceh Besar)

BERITA MINGGUAN

TERBARU

BERITA TERHANGAT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT