Banda Aceh, JBA — Ketua Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh, Tu Bulqaini, mengecam pembentukan Perkumpulan Olahraga Domino Indonesia (Pordi) Provinsi Aceh yang baru saja diresmikan.
Menurut Ketua Partai Lokal berbasis ulama dan santri dayah ini, upaya menjadikan permainan domino sebagai cabang olahraga justru berpotensi menimbulkan keburukan karena selama ini domino telah identik dengan praktik perjudian di tengah masyarakat Aceh.
Sebelumnya, Pordi Aceh resmi terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Besar (PB) Pordi Nomor: SKEP-54/PB PORDI/IX/2025 tentang Susunan dan Komposisi Pengurus Pordi Provinsi Aceh Periode 2025–2029 yang ditandatangani oleh Ketua PB Pordi, Dr. H. Andi Jamaro Dulung, di Jakarta pada 17 September 2025. Ketua Pengprov Pordi Aceh, Mawardi alias Danton, bahkan menyebut domino kini telah sejajar dengan cabang olahraga lain dan akan bernaung di bawah KONI.
Namun, Tu Bulqaini menilai langkah tersebut sangat keliru. Pimpinan Dayah Markaz Ishlah Al Aziziyah ini menegaskan bahwa permainan domino di Aceh tidak bisa dipisahkan dari praktik judi.
“Kita semua tahu, domino selama ini dimainkan di warung kopi dan tempat-tempat tertutup dengan taruhan uang. Permainan ini lebih lekat dengan judi daripada olahraga. Jika dilegalkan sebagai olahraga, khawatirnya justru menjadi pintu masuk pembenaran praktik judi,” ujarnya di Banda Aceh, Rabu (24/9/2025).
Tu Bulqaini juga mengingatkan bahwa dalam perspektif syariat Islam dan adat Aceh, domino sarat dengan stigma negatif.
“Menurut hukum asal, mungkin permainan ini mubah jika tanpa judi. Tapi realitas sosial di Aceh menunjukkan domino hampir selalu diiringi dengan taruhan. Dalam ushul fiqh, ada kaidah sadd al-dzarī‘ah, yaitu menutup pintu menuju kemungkaran. Maka, mengangkat domino sebagai olahraga jelas bertentangan dengan semangat menjaga marwah syariat di Aceh,” tegasnya.
Meski pihak Pordi Aceh menyebut bahwa organisasi ini telah mendapat legitimasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara nasional, Tu Bulqaini menilai hal itu tidak serta merta berlaku di Aceh.
“Syariat di Aceh punya pertimbangan adat dan realitas lokal. Di sini domino dianggap tabu, melalaikan, dan dekat dengan judi. Jadi, fatwa halal di tingkat nasional tidak bisa menghapus stigma dan mudarat yang nyata di Aceh,” ujarnya.
Tu Bulqaini menambahkan, permainan domino di Aceh bukan sekadar soal hiburan, melainkan persoalan sosial yang rawan menimbulkan kerusakan. Ia khawatir jika Pordi dipromosikan secara luas, masyarakat akan sulit membedakan antara permainan biasa dan praktik judi yang sudah mengakar.
“Lebih baik Aceh fokus pada olahraga yang jelas membawa manfaat dan tidak bermasalah dari sisi syariat maupun adat,” pungkasnya.