Yogyakarta, JBA – Dalam diskusi eksaminasi yang digelar Center for Law and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), di Yogyakarta, Sabtu, 5 Oktober 2024, pakar hukum menyimpulkan bahwa Mardani H. Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu tidak bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi yang menjeratnya. Eksaminasi ini melibatkan sejumlah ahli hukum terkemuka, terungkap serangkaian kekhilafan dan kesalahan proses peradilan, yang seharusnya membuat Maming dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
Diskusi ini membedah putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Kasasi Mahkamah Agung yang telah memvonis Maming terkait dugaan suap dalam perizinan pertambangan. Namun, para ahli hukum yang terlibat dalam eksaminasi menggarisbawahi dakwaan dan putusan tersebut tidak memiliki dasar bukti yang kuat, serta menyoroti banyaknya kekeliruan yang dilakukan hakim dalam menangani kasus ini.
Media ini melansir jambisatu.id yang merangkum beberapa argumentasi pakar hukum. Di antaranya Prof Dr Romli Atmasasmita SH LLM.
“Ada kesalahan hakim dalam menafsirkan UU Tipikor,” jelasnya.
Prof Romli Atmasasmita, salah satu pakar hukum terkemuka yang juga bertindak sebagai pembuat legal opini dalam diskusi ini, menegaskan ada kekeliruan yang nyata dalam penerapan hukum oleh majelis hakim.
Menurut Romli, penerapan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang digunakan untuk menjerat Maming sebagai penerima suap tidak tepat, karena tidak ada bukti nyata yang menunjukkan terjadinya suap.
“Jika dakwaan menyatakan bahwa Maming menerima suap, maka logikanya harus ada bukti konkret yang menunjukkan adanya penerimaan hadiah atau keuntungan yang diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait jabatannya. Namun, bukti tersebut tidak ada, dan ini merupakan kekhilafan hakim yang nyata,” tegas Romli.
Ia juga menyoroti penerapan Pasal 18 UU Tipikor terkait penyitaan harta benda Maming yang dianggap sebagai hasil tindak pidana. Romli menegaskan bahwa penerapan pasal ini tidak tepat jika merujuk pada fakta tidak ada bukti kerugian negara, sehingga barang yang dianggap sebagai hadiah seharusnya dikembalikan kepada pemberinya, bukan disita untuk negara.
Sementara Prof Dr Yos Johan Utama SH MHum menyebutkan tidak ada nukti kerugian negara dalam kasus ini.
Prof Yos Johan Utama dikenal sebagai pakar hukum Universitas Diponegoro, yang menegaskan salah satu elemen penting yang harus dibuktikan dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian negara.
Dalam kasus Maming, menurut Yos, tidak ada bukti audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga lainnya yang menunjukkan adanya kerugian negara akibat tindakan yang dituduhkan kepada Maming.
“Tindak pidana korupsi harus dibuktikan dengan adanya kerugian keuangan negara, namun dalam kasus ini, tidak ada audit atau bukti yang menyatakan bahwa negara dirugikan. Tanpa adanya kerugian negara, tidak ada dasar yang kuat untuk menyatakan Maming bersalah,” ujar Yos.
Ia juga mengkritisi putusan hakim dalam perkara ini terlalu dipaksakan, mengingat bukti-bukti yang ada tidak cukup untuk mendukung dakwaan korupsi yang dilayangkan terhadap Maming.
Prof Dr Topo Santoso SH MH mengatakn pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sah dan sesuai prosedur. Ahli hukum pidana Universitas Indonesia menerangkan pengalihan IUP yang dilakukan Maming selama menjabat Bupati Tanah Bumbu adalah tindakan sah secara hukum. Topo menegaskan bahwa pengalihan IUP tersebut dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, serta telah memenuhi syarat administratif dan teknis yang dibutuhkan.
“Pengalihan IUP yang dilakukan oleh Maming sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan tidak melanggar undang-undang pertambangan. Ini adalah hak dan kewenangan yang sah sebagai bupati, dan tindakan ini tidak dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang,” jelas Topo.
Ia juga menyoroti bahwa tidak ada unsur meeting of mind atau kesepakatan antara Maming dan pihak yang diduga memberi suap, yang seharusnya menjadi elemen penting dalam membuktikan tindak pidana suap.
Diskusi eksaminasi ini juga menyoroti upaya jaksa penuntut umum yang membangun dakwaan atas dasar “kesepakatan diam-diam” antara Maming dan pihak pemberi suap, sebuah istilah yang tidak dikenal dalam hukum pidana.
Para ahli hukum sepakat bahwa dakwaan seperti ini merupakan bentuk dari konstruksi hukum yang imajinatif dan tidak berdasar.
“Kesepakatan diam-diam tidak dikenal dalam hukum pidana. Ini hanyalah asumsi yang dibuat jaksa tanpa ada bukti konkret yang mendukung dakwaan tersebut,” tegas Prof Topo.
Secara keseluruhan, para pakar hukum yang terlibat dalam diskusi ini sepakat bahwa Mardani H. Maming tidak bersalah dan tidak layak dipenjara. Mereka menegaskan bahwa putusan yang menjatuhkan hukuman terhadap Maming didasarkan pada interpretasi yang salah dan bukti-bukti yang lemah. Bahkan, tindakan Maming sebagai Bupati Tanah Bumbu terkait perizinan tambang sepenuhnya sah secara hukum dan sesuai dengan kewenangannya.
“Ini bukan hanya tentang keadilan bagi Maming, tetapi juga tentang pentingnya menegakkan hukum dengan benar dan memastikan bahwa proses peradilan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Maming tidak bersalah, dan ia tidak layak dipenjara,” ujar Prof Romli Atmasasmita.(*)