Banda Aceh, JBA – Ada data dirilis Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) Peutuah Mandiri, yang menyebutkan sebanyak 17 pasangan suami istri di Aceh bercerai setiap harinya.
Dalam rilis yang diterim pada Jumat, 19 Januari 2024, YBHA Peutuah Mandiri menulis dalam periode Januari sampai Desember 2023, berdasarkan data Mahkamah Syar’iyah Aceh—ada sebanyak 6.091 pasangan mengajukan proses perceraian di Aceh.
“Jika dihitung dengan acuan dalam setahun 365 hari, maka ada 17 pasangan suami istri yang bercerai setiap harinya di Aceh,” tulis Manager Kasus & Advokasi YBHA Peutuah Mandiri, Vatta Arisva, S.H., M.H dalam rilisnya.
Menurut Vatta, perceraian itu terbagi dalam dua kategori, baik cerai gugat maupun cerai talak. Namun laporan itu tidak menyebutkan penyebab tingginya angka perceraian di Aceh termasuk usia pasangan suami istri yang bercerai.
Data yang dikumpul menunjukkan Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Timur dan Bireuen menjadi lima daerah tertinggi permohonan perceraian.
YBHA Peutuah Mandiri menyatakan cukup prihatin dengan tingginya angka perceraian di Aceh ini. Sebenarnya persoalan ini menjadi tanggung jawab bersama agar ke depan bisa ditekan.
Peran lembaga peradilan yang memutus perceraian, menurut YBHA, tentunya mesti mengefektifkan proses mediasi agar jangan sampai perceraian terjadi. Peran lembaga peradilan sudah sepatutnya mengupayakan secara maksimal agar setiap rumah tangga yang berada di ujung tanduk tersebut dapat kembali harmonis dan damai, sehingga tujuan pernikahan yakni sakinah mawaddah dan rahmah dapat tercapai.
Peranan lembaga peradilan, tentunya harus didukung oleh berbagai pihak. KUA sebagai corong awal perkawinan, sudah semestinya mendorong upaya penyadaran pra perkawinan bagi setiap pasangan yang akan menikah. Para calon pengantin mestilah diberikan pemahaman yang utuh akan potensi gejolak-gejolak yang akan terjadi dalam rumah tangga nantinya, serta solusi cara menghadapi.
YBHA mendesak KUA membuka ruang bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan untuk membicarakan dari hati ke hati terkait perbedaan pandangan, pekerjaan (ekonomi), mendidik anak dan lain sebagainya yang bisa saja muncul di kemudian hari.
Selain itu, juga harus ada peranan gampong sebagai ujung tombak dalam hidup bermasyarakat untuk mengontrol dan menasihati apabila terjadi pertengkaran dalam rumah tangga.
YBHA Peutuah Mandiri melihat perlu adanya lembaga konsultasi permasalahan keluarga yang intens, ketika terjadi suatu permasalahan dalam ranah keluarga di masyarakat, suami-istri dapat berkonsultasi terkait masalah tersebut terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan ke Mahkamah Syar’iyah.
Efek dari perceraian, menurut YBHA akan berpengaruh pada psikologis anak dan perselisihan dalam perebutan hak asuh anak. Anak menjadi bahan yang akan diperebutan suami-istri yang sedang bercerai, karena menginginkan hak asuh anak diberikan kepada salah satunya. “Hal ini tentu berpengaruh pada tumbuh kembang anak,” tulis Vatta Arisva yang berkantor di Jalan Keuchik Amin Nomor 4, Gampong Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.
YBHA berharap kasus-kasus perceraian harus disikapi serius oleh semua pihak karena menyangkut kehidupan berkeluarga serta perkembangan kehidupan si anak. Anak dilindungi oleh negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat 2 berbunyi, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.