Oleh: Gumarni, S.H., M.Si.
Tanpa terasa, MoU Helsinki sudah berusia 17 tahun. Namun, butir-butir yang tercantum di dalamnya masih banyak tersangkut paut dengan kepentingan politik dan pemegang kekuasaan.
Di sisi lain, rakyat Aceh selalu menunggu kabar baik itu datang dari pemangku jabatan yang terlibat dalam perjanjian damai yang disepakati pada 15 Agustus 2005 silam di Helsinki.
Akankah MoU berakhir dengan saling menyalahkan, atau berhasil dengan saling memuliakan?
Tentunya, dua hal tersebut menjadi sorotan tajam mata masyarakat secara umum. Bagaimana MoU terealisasi sesuai perjanjian damai tanpa lahirnya politik tertentu untuk mewujudkan realisasinya di lapangan?
15 Agustus mendatang, MoU Helsinki genap berusia 17 tahun. Apakah rakyat Aceh masih terlena dengan menerima harapan manis, sedangkan kenyataannya amat pahit?
Rakyat Aceh ingin merdeka dari kemiskinan, merdeka dari tekanan, dan merdeka dalam mencicipi hasil damai. Bukan malah kemiskinan dari hasil damai.
Oleh karena itu, pemegang kekuasaan di Aceh wajib banting tulang memperjuangkan kesejahteraan rakyat Aceh secara umum dan membangun koordinasi yang baik dengan Pemerintah Pusat agar butir-butir MoU yang belum terealisasi dapat dijalankan tanpa rasa saling curiga.
Hal itu dianggap sangat perlu dilakukan demi kesejahteraan hidup rakyat Aceh ke depan dan merdeka dalam bingkai NKRI.
Penulis adalah Ketua Umum Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Aceh (LPMA).