Hasil Mubahasah 300 Ulama Dayah; Tutup Ruang Bank Konvensional dan Perbaiki Bank Syariah

Banda Aceh, JBA – Hasil Mubahasah yang dilaksanakan Pengurus Besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (PB HUDA) menyimpulkan perlunya pemerintah Aceh menutup peluang bagi upaya-upaya mengembalikan kembali bank konvensional ke Aceh. Selain juga, mubahasah dalam rangka Musyawarah Besar HUDA ke IV dan diikuti oleh 300 ulama dayah ini juga mendorong Bank Syari’ah untuk terus berbenah memperbaiki sistem layanan agar betul-betul sesuai dengan nilai-nilai Islam.

“Mendorong untuk memastikan berlangsung Penerapan Ekonomi Syariah di Aceh dan menutup peluang kembalinya Bank Konvensional ke Aceh, “ ujar Dr. Tgk. Helmi Imran, MA, Ketua Tim Mubahasah HUDA.

Poin-poin lainnya hasil mubahasah yang dibacakan oleh Tgk. Helmi Imran yaitu, merangsang inovasi di sektor ekonomi syariah, seperti pengembangan produk dan layanan baru yang sesuai dengan prinsip syariah. Ini dapat mencakup penggunaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas.

Poin lainnya yaitu mendukung dan mengembangkan program pendidikan formal dan informal dalam bidang ekonomi syariah. Ini mencakup pendidikan tinggi, pelatihan, dan sertifikasi untuk menciptakan sumber daya manusia yang kompeten di bidang ini.

Dr. Tgk. Helmi Imran juga mengatakan, bperlunya erkolaborasi untuk memastikan semua aturan dan sistem dalam LKS dijalankan dengan baik oleh setiap pelaku keuangan Syariah. Serta juga pentingnya Integrasi Pendidikan Ekonomi Syariah pada kurikulum Pendidikan.

Selain itu, kata Tgk. Helmi, juga penting untuk menggalakkan pemberdayaan ekonomi lokal melalui koperasi dan usaha mikro yang sesuai dengan prinsip ekonomi Syariah untuk membantu mengurangi ketergantungan pada sektor ekonomi konvensional.

“Hasil mubahasah juga mendorong dilakukannya penyelarasan antara praktik sebagian Pelaku Ekonomi Syariah yang terdapat ketimpangan dengan Qanun dan aturan yang ada. Selain itu, juga perlu adanya pelibatan MPU sebagai pengawas Qanun LKS dan HUDA sebagai pihak yang mensosialisasikan Qanun LKS kepada masyarakat, “ ujar Tgk. Helmi yang akrab disapa Aba Nisam ini.

Tgk. Helmi juga menyebutkan, peserta mubahasah juga mendorong adanya pelibatan MPU dan HUDA dalam membimbing pengusaha dan pelaku bisnis untuk mengikuti etika bisnis Islam. Ini mencakup transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab sosial dalam aktivitas bisnis.

Perlu adanya edukasi dan sosialisasi dalam rangka peningkatan kesadaran tentang prinsip-prinsip ekonomi syariah di kalangan HUDA dan masyarakat. Ini dapat dilakukan melalui tabligh dan program pelatihan yang membahas manfaat dan nilai-nilai ekonomi syariah.

Poin lainnya hasil mubahasah yaitu memandang perlunya kolaborasi antara Pemerintah, Pegiat Lembaga Keuangan Syariah, Pegiat Pariwisata Halal, Pegiat Zona Halal: menciptakan kebijakan (road map) yang mendukung pengembangan ekonomi syariah. Ulama dapat memberikan masukan dan dukungan moral untuk kebijakan yang mendukung prinsip-prinsip syariah.

Selain itu, juga mendorong pengurangan Impor beras dengan memproduktifkan lahan sawah. Dapat melakukan program berwakaf untuk membeli sawah dan memproduktifkannya secara professional untuk swasembada.

Mendorong pemanfaatan harta wakaf untuk sebesar-besarnya menekan angka kemiskinan dengan zakat produktif. Mengurangi ekspor hasil tambang dan Gas Alam dan meningkatkan ekspor kopi dan rempah-rempah.

*Perbaiki Bank Syari’ah : Cegah Ketimpangan Antara Praktik di Lapangan dengan Isi Qanun LKS*

Ketua Tim Mubahasah, Dr. Tgk. Helmi Imran dalam paparannya menyebutkan, berdasarkan temuan ada beberapa hal yang perlu diperbaiki adalah perihal eksistensi Qanun/Pijakan Qanun LKS dimana terjadi ketimpangan antara praktik di lapangan dengan Qanun LKS, dan diharapkan agar praktik bank Syari’ah dapat betul-betul sejalan dengan isi Qanun LK.S

Beberapa poin yang dipertanyakan berdasarkan temuan kata Tgk. Helmi yaitu: Pertama, terkait denda finansial dalam rangka penertiban nasabah yang mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No. 17 Tahun 2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, dimana pada butiran keputusan poin Nomor 5 tertulis: “Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.”

Yang kedua, kata Tgk. Helmi, Qanun LKS pasal 31 terjadi benturan antara ayat 1 dan 2. Dan ketiga, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No 27 tahun 2002 tentang “Al-Ijarah al-muntahiyah bi altamlik” bertentangan dengan prinsip Syari’ah. Dan keempat, Fatwa No 73 tahun 2008 menyangkut musyarakah mutanakisah pada ketentuan akad No. 1 yang berbunyi “Akad musyarakah mutanakisah terdiri dari akad musyarakah atau syirkah dan bai’ (jual beli)” Ketentuan dalam fatwa tersebut mengandung indikasi penggabungan dua akad dalam satu transaksi, yaitu syirkah dan jual beli atau IMBT (Ijarah Mutanahiyah Bi Tamlik). Hal ini menjadi masalah mengingat dalam MMQ (Musyarakah Mutanaqishah) salah satu syarik menjual/menyewakan hissah-nya kepada syarik yang lain. Bila dua akad tersebut digabung dalam satu transaksi, maka terjadi penjualan barang yang belum dimiliki.

Dan kelima, hasil kajian menemukan bahwa pasal 21 ayat 2 butir (a) menyatakan dana tabarru’ sepenuhnya adalah milik Sahibul Mal. Padahal merujuk pada fatwa DSN No 21 tahun 2001 tentang Pedoman Umum asuransi syari’ah, akad yang dilakukan dalam asuransi syariah adalah akad tijarah atau akad tabarru’.

Lalu, Tgk Dr. Helmi Imran yang akrab disapa Aba Nisam ini juga mengatakan, beberapa ketimpangan yang ditemukan antara praktik LKS dengan Qanun LKS, antara lain yaitu pertama, pada murabahah dimana LKS tidak sepenuhnya membeli benda, lalu menjualnya kepada nasabah. Praktik ini menyalahi Fatwa DSN No 4 tahun 2000 tentang murabahah.

“Kedua, terjadi ketimpangan pada konsep Mudharabah, yaitu (a) Pihak LKS tidak menanggung rugi. (b) Pihak LKS juga mensyaratkan anggunan. (c) Mengapa mencampuradukkan antara akad mudharabah dengan rahan. (d) Pihak LKS juga menetapkan keuntungan dengan persen tertentu pada awal akad. Ketiga, Denda dengan uang bertentangan dengan Fikih. Dan Keempat, Pegangan LKS pada mudharabah apakah merujuk kepada Fatwa DSN MUI No 23 tahun 2002 atau Fatwa DSN MUI No 153 tahun 2022?, “uja Tgk. Helmi.

BERITA MINGGUAN

TERBARU

BERITA TERHANGAT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT