Oleh: Dr Muhammad Syarif SPdI MA
Dosen FAI Universitas Serambi Mekkah dan Pengurus DPP ISAD Aceh
Ramadhan 1444 H akan berakhir. Jika diibaratkan kompetisi, maka inilah saat terbaik memacu diri dalam berbagai amalan kebaikan yang Allah perintahkan, mulai dari mengencangkan ikat pinggang, amal salih, dan beragam amalan sosial lainnya. Itu lah manifestasi ketakwaan yang sudah semestinya digapai setiap insan yang berpuasa Ramadhan.
Puasa merupakan ibadah yang terdapat dalam rukun Islam dan menjadi salah satu pokok ajaran Islam. Hendaknya muslim benar-benar memperhatikan, apakah puasa Ramadhan hanya menggugurkan kewajiban dan lewat begitu saja tanpa menyisakan kesan dan pengaruh mendalam, atau muslim benar-benar berusaha menyelami puasa Ramadhan dengan penuh kekhusyukan, keikhlasan, dan mengharap rida dan pahala dari Allah.
Secara lahiriah, puasa dilakukan melalui pengendalian diri (imsak) pada siang hari dari makan, minum, dan hubungan seksual. Namun secara hakiki meliputi pengekangan ego dari semua keinginan (nafsu), sikap dan tindakan tercela, serta melakukan berbagai ibadah lainnya untuk mendapatkan derajat takwa.
Quraish Shihab menjelaskan takwa berasal dari kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Menurut ulama lainnya, takwa adalah kepatuhan menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Orang yang berpuasa tentunya akan mampu mengendalikan nafsu dari berbuat yang melanggar regulasi Allah.
Takwa dapat terwujud dalam bentuk rasa takut karena adanya siksaan, dan bertakwa berarti merasakan kehadiran Allah setiap saat, bagaikan melihat-Nya. Kalau yang demikian tidak mampu dicapai, maka paling tidak, menyadari Allah melihatnya.
Sisi lain, naluri manusia memang memiliki keinginan, baik nafsu biologis, materi maupun kekuasaan. Seperti termaktub dalam QS Ali Imran ayat 14.
Islam pun tidak melarang keinginan-keinginan tersebut, tetapi mengatur atau membatasinya. Munculnya sejumlah persoalan sosial, seperti korupsi, perampokan, pencurian, penipuan, perzinaan, egoisme, keserakahan, kekerasan, penyalahgunaan wewenang, narkoba, miras dan sebagainya merupakan ekspresi nafsu yang tidak terkontrol dan bagian tindakan tercela.
Puasa tentunya mengandung hikmah tidak hanya dari sudut dimensi spiritual dan vertikal, tetapi juga sosial dan horisontal, terutama penguatan akhlak (etika moral) dan watak (karakter). Puasa bahkan menjadi sarana latihan (training) yang efektif terutama untuk mewujudkan manusia bebas dari dosa dan perbuatan tercela, mendidik manusia agar dapat mengendalikan diri dan jujur, sekaligus menjadi manusia yang memiliki solidaritas sosial yang tinggi.
Solidaritas sosial yang tinggi tersebut diwujudkan dalam bentuk anjuran memperbanyak sedekah dan menjelang Idul Fitri, diwajibkan menunaikan zakat fitrah yang terutama diberikan pada fakir miskin. Puasa juga akan memunculkan empati dengan membayangkan perasaan orang-orang fakir miskin yang mengalami kekurangan makanan, sebagaimana dirinya mengalami kelaparan saat berpuasa.
Sebagaimana tujuan utama berpuasa adalah menjadi orang yang bertakwa, maka level ketakwaan manakah yang dikehendaki? Karena pencapaian masing-masing individu terhadap ketakwaan tergantung cara ia memanfaatkan momentum ibadah selama Ramadhan. Semakin tinggi derajat ketakwaan yang ia kehendaki, tentunya semakin khusyuk ia beribadah dengan mengharap keridaan Allah. Bahkan saat Ramadhan akan berakhir, muslim semakin mengencangkan ikat pinggangnya untuk bertaqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Senantiasa bersabar dan istikamah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Itu lah tingkat kesabaran dan ketakwaan yang tertinggi di mata Allah.
Kiranya, sebelum bulan yang mulia ini benar-benar pergi, bergegaslah memperbanyak ibadah mumpung masih tersisa waktu. Tetaplah bertahan dengan segala amalan yang dikerjakan sejak awal Ramadhan, bahkan hendaknya senantiasa terus ditingkatkan, apalagi pada malam-malam terakhir ini terdapat Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Sungguh, Ramadhan ini akan segera berakhir meninggalkan muslim, dan kita tidak tahu apakah termasuk golongan yang benar-benar terlatih, sehingga mampu menghadapi rayuan setan yang selalu berusaha mengajak mengikuti jalannya. Kita juga tidak tahu apakah pasca Ramadhan, termasuk orang-orang yang tidak lagi mempertuhankan hawa nafsu dunia yang kelak hanya akan membawa ke jurang neraka.
Karenanya, mari manfaatkan waktu yang tersisa sebaik mungkin, hingga tidak terjadi penyesalan yang timbul di hati setelah kepergiannya. Semoga saja rangkaian ibadah yang telah dilakukan selama Ramadhan mampu mengubah setiap muslim menjadi pribadi lebih baik dari sebelumnya, serta harapan sebagaimana di penghujung ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183, “La’allakum Tattaquun” dapat tercapai