Hilangnya Jati Diri Mahasiswa karena Rohingya

Oleh: Vaulita Widara
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam, Universitas Serambi Mekkah

Etnis Rohingya adalah minoritas Islam di Myanmar dan minoritas terisolasi, mereka terbentuk selama sejarah peristiwa yang panjang. Rohingya berada di kawasan negara bagian Rakhine dan umumnya adalah muslim. Namun sejak lama keberadaan mereka di negara junta itu justru tidak diakui oleh pemerintahan di Myanmar. Bahkan dalam satu dekade terakhir pemerintahan junta bersama-sama kelompok milisi beragama mayoritas di negara itu berupaya memusnahkan keberadaan etnis tersebut dari Myanmar, bahkan ratusan ribu Muslim Rohingya tewas dalam pembersihan etnis yang terjadi sampai hari ini.

Sebagai minoritas, Muslim Rohingya memilih untuk eksodus keluar Myanmar dan dalam pencarian perlindungan tersebut, etnis Rohingya itupun bertaruh nyawa dengan mengarungi lautan lepas yang sering disebut sebagai “manusia perahu” dan sebagian dari mereka terdampar di Aceh.

Awal-awal kehadiran etnis tersebut di Aceh disambut dengan baik dan diberikan bantuan dengan berbagai bentuk baik memberikan makanan, pakaian juga tempat tinggal atau penampungan. Namun gelombang etnis tersebut terus berdatangan hambir saban waktu masuk dan terdampar di pantai laut Aceh.

Penyebab mahasiswa Aceh mengusir pengungsi Rohingya tidak lepas dari lambannya Pemerintah Aceh mengambil langkah tegas dalam menangani mereka. Di sisi lain, imigran Rohingya belakangan ini terus bertambah jumlah perahu dengan ratusan manusia di dalamnya yang terdampar di pesisir laut Aceh. Tentu saja permasalahan ini menjadi berlarut-larut, apalagi sikap pemerintah yang terksesan kurang tegas terhadap persoalan ini.

Masyarakat Aceh dan para mahasiswa menyampaikan aspirasinya agar ada tindakan nyata dari pemerintah menangani pengungsi Rohingya. Bahkan sudah digelar beberapa aksi unjuk rasa terkait hal yang sama.

Namun yang menjadi heboh dan viral disaat ada sekelompok mahasiswa melakukan aksi demo tolak pengungsi Rohingya di Banda Aceh pada Rabu (27/12/2023). Aksi itu juga diwarnai dengan pengusiran paksa para pengungsi Rohingya dari penampungan Balai Meuseuraya Aceh (BMA) di Banda Aceh.

Berdasarkan sejumlah video yang beredar dan viral di media sosial, sejumlah mahasiswa memakai almamater masuk ke dalam penampungan dan mengerumuni pengungsi yang terdiri dari anak-anak dan wanita tersebut, bahkan saat itu juga tampak sejumlah pengungsi pria tengah salat berjemaah.

Usai para pengungsi tersebut melaksanakan salat, mereka lalu dipaksa untuk keluar dari penampungan dan dinaikkan ke atas truk dan dipindahkan ke Kanwil Kemenkumham Aceh.

Tentunya kejadian pengusiran mengundang kecaman dari banyak warga Indonesia bahkan jadi viral sampai ke tingkat media Internasional, mereka menilai bahwa tindakan mahasiswa tersebut tidak manusiawi.

Hemat penulis, melakukan aksi demo dan menyampaikan aspirasi oleh mahasiswa tersebut sudah tepat mengingat pemerintah yang terkesan membiarkan masalah ini berlarut-larut bahkan para pengungsi terus saja terdampar dan bertambah di Aceh. Namun aksi yang sebagaimana digambarkan oleh media dan dari video yang beredar, tentu hal tersebut tidak bisa dibenarkan, bahkan tindakan semacam itu tidak seharusnya dilakukan oleh para para kaum intelektual mahasiswa, karena sikap arogansi mengusir paksa pengungsi Rohingya itu sama sekali tidak mencerminkan diri sebagai kaum terpelajar.

Mahasiswa sebagai kelompok yang maha terpelajar, semestinya menggunakan keilmuan dan penuh etika sebagaimana diajarkan oleh para dosen di bangku kuliah. Harusnya mahasiswa paham terhadap ilmu dan moral yang diperoleh dari akademiknya khususnya dalam melihat situasi dan kondisi para pengungsi Rohingya.

Kaum terdidik mesti paham terhadap tujuan pendidikan itu sendiri, dimana bahwa yang menjadi tujuan dari proses pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Dengan pendidikan, idealnya dapat menghaluskan budi dan tidak melahirkan kecongkaan karena merasa lebih tinggi dalam kehidupan dan status sosial.

Karakter seorang mahasiswa untuk membantu orang-orang yang lemah dan tidak melakukan pola kekerasan apalagi dalam mengkritisi pemerintah, silakan kritik, dengan harus menggunakan pola etika layaknya seorang insan terdidik, apalagi yang sedang menyandang status sebagai seorang mahasiswa.

Namun disisi yang lain, kita sebagai mahasiswa juga terus meminta agar pemerintah, dan pihak-pihak terkait lainya, dapat lebih memastikan pemberian perlindungan dan kepastian sikap terhadap pengungsi Rohingya, ini atas nama sesama muslim juga atas nama kemanusiaan.

Pemerintah pusat dan daerah seyogyanya juga harus segera melahirkan kebijakan yang mampu menjawab persoalan sosial ini sehingga tidak akan melahirkan konflik horizontal di Aceh sebagaimana yang selama ini terjadi penolakan oleh warga setempat di beberapa daerah di Aceh.

Hematnya, bahwa penanganan yang dilakukan pemerintah Indonesia dan pihak Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) tidak boleh terhenti sampai dengan perlindungan sementara saja, namun perlu adanya upaya lebih lanjut, cepat dan tepat guna mengatasi permasalah ini dan terdapat progres yang positif dalam penanganan kasus pengungsi rohingnya di Indonesia khususnya di Aceh, baik progres internal maupun eksternal. Semoga.

BERITA MINGGUAN

TERBARU

BERITA TERHANGAT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT