Esensi Al-Qur’an dalam Politik dan Pembangunan Aceh

Oleh: Amiruddin

Mahasiswa Magister Hukum Keluarga Islam Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Aceh

Sejak terjalin perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia (RI), pelan-pelan nilai syariat Islam diadopsi menjadi hukum positif di Aceh, yang diridai oleh konstitusi Indonesia. Atas restu undang-undang, pelaksanaan syariat Islam sah berlaku di serambi mekah sejak 2001.

Implementasi syariat Islam makin nyata dengan lahirnya qanun alias Peraturan Daerah (Perda) bernuasa islami. Semua isi qanun syariat Islam merujuk pada kitab fikih sesuai Al-Qur’an dan hadis. Regulasi paling poluler jelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota di Aceh. Qanun tersebut merupakan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang merupakan dasar penyelenggaraan otonomi daerah dan keistimewaan Aceh.

Dasar hukum di atas mewajibkan calon anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) yang berstatus muslim wajib mampu membaca Al-Qur’an. Selain itu, syarat menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota adalah mampu membaca Al-Qur’an.

Bukan hanya itu, peserta seleksi komisioner lembaga negara seperti Komisi Independen Pemilihan (KIP), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh, Komisi Informasi Aceh, dan pastinya calon pemimpin di Aceh juga mesti wajib ikut uji mampu baca Al-Qur’an. Ketentuan tersebut hanya berlaku di Aceh, khususnya bagi muslim.

Ternyata, regulasi kemampuan membaca Al-Qur’an bukan semata dituju pada calon anggota legislatif dan calon kepala daerah. Lebih dari itu, kepala desa yang lumrah disebut keuchik dan perangkat gampong juga wajib mampu membaca Al-Qur’an, yang dilakukan uji kemampuan saat mencalonkan diri sebagai kandidat keuchik.

Misalnya di Kota Banda Aceh, ada qanun khusus yang mengatur hal tersebut. Dalam Qanun Banda Aceh Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pemerintah Gampong, pasal 18 ayat 3 poin a, bahwa perangkat gampong wajib mampu membaca Al-Qur’an dengan baik.

Kemampuan baca Al-Qur’an harus dibuktikan dengan uji baca Qur’an yang diselenggarakan Komisi Independen Pemilihan (KIP) tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang dilaksanakan sebelum pesta demokrasi berlangsung. Sementara bagi calon keuchik, uji kemampuan baca Al-Qur’an dikawal oleh camat, yang diuji oleh petugas Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan setempat, tempat calon keuchik berdomisili.

Jelang milihan keuchik serentak 2025, baik di Aceh Besar dan Banda Aceh, kandidat keuchik sedang jalani uji baca Qur’an di setiap KUA, yang disaksikan tim penguji dan masyarakat Aceh. Jika terbukti tidak mampu baca kitab suci muslim ini, konsekuensinya status calon keuchik akan gugur dan wajib diganti dengan kandidat lainnya.

Urgensi baca Al-Qur’an bagi kandidat keuchik sebagai manisvestasi tradisi masyarakat Aceh yang tidak jauh dengan narasi keislaman dan Al-Qur’an. Uji baca Qur’an sekaligus bukti sosok tokoh tersebut dekat dan kesehariannya tidak pernah lupa pada Al-Qur’an.

Sisi lain, kala terpilih jadi pemimpin untuk mengelola pemerintahan gampong, tentu dapat melahirkan kebijakan yang tidak mengabaikan perintah Al-Qur’an. Demikian sejatinya yang diharapkan masyarakat Aceh sebagai daerah pertama masuk Islam ke nusantara.

Setiap kebijakan yang diketuk palu oleh keuchik atas pertimbangan agama, tentu tidak merugikan siapa pun, bahkan hewan dan tumbuhan merasakan manfaatnya. Misal kebijakan pelestarian lingkungan. Tentu tidak boleh ada aksi yang memuzaratkan orang lain, termasuk binatang yang hidup di belantara.

Jika pemimpin mampu membaca Qur’an, kelak dia rindu dengan lantunan ayat-ayat suci, yang menggerakkan hati untuk mengadakan even suci terkait Al-Qur’an, baik di level anak-anak hingga orang dewasa.

Idealnya, kebijakan yang berpandu pada Al-Qur’an bukan semata lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dan kajian keislaman. Lebih dari itu, mampu menerapkan pesan-pesan langit dalam pembangunan bangsa, baik ekonomi, infrastruktur publik, dan infrastruktur pembangunan manusia, sehingga unggul dalam bingkai syariat dan politik Islam.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa Al-Qur’an pedoman suci yang memiliki nilai-nilai moderasi, yang seyogyanya dipraktikkan masyarakat muslim sebagai upaya menciptakan kedamaian.

Melalui kententuan mampu dan uji baca Qur’an, sejujurnya, desa-desa di Aceh ingin dipimpin oleh orang yang terampil dengan Al-Qur’an. Bukan hanya cerdas berpolitik dan membangun ekonomi, tapi mampu mengolaborasikan kebijakan dengan rambu-rambu kitab agung ini.

Aktualisasi tes baca Al-Qur’an dalam pemilihan kepala desa tentu bertujuan melahirkan keuchik yang siap menjadikan Islam sebagai senjata politik di tingkat gampong. Kepatuhan keuchik terhadap narasi Islam akan memberikan efek ganda dalam pembangunan pemerintahan desa. Apalagi dibarengi dengan niat menjaga dan menyebarkan Islam dalam segala lini kehidupan masyarakat, tentu Allah akan memberikan jalan bagi pemimpin yang tidak mengesampingkan hukum Allah.

Jika keuchik yang terpilih adalah sosok yang cinta terhadap Islam, sangat berpotensi melahirkan program yang berorientasi pada syariat Islam. Misalnya mengaktifkan pengajian di desa, baik kajian khusus pemuda dan masyarakat umum. Lembaga pendidikan keagamaan di tingkat desa seperti dayah atau taman pendidikan Al-Qur’an (TPA) juga akan mendapatkan perhatian serius sebagai bentuk komitmen menciptakan generasi islami, sekaligus mencegah maksiat di lingkungan desa.

Kesadaran terhadap prilaku masyarakat akan menjadi catatan penting bagi keuchik yang benar-benar patuh pada agama. Jabatan akan dianggap sebagai amanah besar yang tidak bisa dianggap sepele, apalagi menjadikan kekuasaan sebagai cara mendapatkan keuntungan pribadi sekaligus mezalimi hak masyarakat.

Karenanya, uji kemampuan baca Al-Qur’an bagi pemimpin di Aceh, khsusunya calon keuchik mesti diperketat dan diseleksi secara objektif, supaya melahirkan calon pemimpin yang selalu merindukan nilai-nilai Islam dalam setiap kebijakan dan pembangunan desa.

Terakhir, Al-Qur’an kalam penenang jiwa dan batin bagi insan galau. Biasanya, sosok pemimpin kerap diterpa berbagai isu, kritikan pedas, dan fitnah, bahkan ancaman dari lawan politik atau pihak lainnya. Ketika ia mampu dan selalu melalui hari dengan Al-Qur’an, tentu akan tenang batin tanpa khawatir berlebihan terhadap was-was negatif, sehingga tidak mudah goyang serta bawa perasaan (Baper) saat menjalankan pemerintahan.

 

BERITA MINGGUAN

TERBARU

BERITA TERHANGAT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT