Permendagri Tito Karnavian Soal 4 Pulau Dinilai Cederai Perdamaian dan Otonomi Khusus Aceh

Banda Aceh, JBA – Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry Banda Aceh, M. Fasya, mengecam keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil yakni Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

Dalam pernyataannya, Fasya menyebut bahwa keputusan ini mencederai semangat perdamaian yang telah dibangun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki pada tahun 2005. Ia juga menilai bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang secara tegas menjamin keistimewaan Aceh dalam pengelolaan wilayah dan mewajibkan adanya konsultasi dalam setiap perubahan batas administratif.

“Kami menilai bahwa keputusan Mendagri Tito Karnavian ini sangat gegabah dan mencederai keistimewaan Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Keempat pulau tersebut secara historis, yuridis, dan administratif adalah bagian dari Aceh Singkil, bukan Sumut,” tegas Fasya, Senin (16/6/2025).

Fasya juga menyoroti bahwa keputusan sepihak dari Kemendagri tidak hanya melukai kepercayaan rakyat Aceh, tapi juga berpotensi memicu ketegangan baru antar wilayah. Menurutnya, kebijakan semacam ini bisa mengganggu stabilitas sosial dan merusak harmoni antarprovinsi jika tidak segera dikoreksi secara adil.

Ia menambahkan bahwa keempat pulau itu telah diakui dalam dokumen agraria sejak tahun 1965. Berdasarkan dokumen agraria dan peta historis, pulau-pulau tersebut secara konsisten berada dalam yurisdiksi Aceh Singkil. Bahkan dalam Surat Keputusan Bersama antara Gubernur Aceh dan Sumatera Utara pada tahun 1992 yang disaksikan langsung oleh pihak Kementerian Dalam Negeri saat itu, keempat pulau tersebut secara eksplisit ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Aceh.

“Keputusan ini jelas melangkahi semangat MoU Helsinki dan aturan hukum yang mengatur batas wilayah Aceh. Jika keputusan seperti ini terus dibiarkan tanpa konsultasi dan klarifikasi, maka bukan tidak mungkin kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat akan semakin merosot,” lanjutnya.

Sebagai bentuk sikap tegas, Fasya menyerukan kepada Pemerintah Aceh, DPR Aceh, akademisi, serta seluruh elemen sipil dan mahasiswa untuk bersatu mengadvokasi persoalan ini demi menjaga kedaulatan wilayah dan kehormatan hukum Aceh.

“Ini bukan semata soal batas wilayah, tapi juga soal martabat, hukum, dan perdamaian, yang telah diperjuangkan oleh rakyat Aceh selama pulahan tahun,” tutup Fasya.

Dalam penutup pernyataannya, Fasya mengingatkan bahwa Aceh tidak sedang mengancam, tetapi sedang memperingatkan.

“Jangan remehkan suara tanah yang pernah berdarah untuk keadilan. Jangan anggap diamnya Aceh adalah tanda tunduk. Empat pulau bukan sekadar tanah, itu adalah simbol kedaulatan, simbol sejarah, simbol harga diri. Dan jika simbol itu dirampas, maka tak ada lagi alasan untuk tetap tinggal dalam rumah yang penuh pengkhianatan. Kembalikan pulau kami atau sejarah akan kembali memanggil kami,” tegasnya penuh makna.

BERITA MINGGUAN

TERBARU

BERITA TERHANGAT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT