Oleh: Izni Fazira (Mahasiswi semester 5 Prodi Ilmu Politik, UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Konstruksi gender di Aceh dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara tradisi dan modernitas. Pascakonflik dan pascatsunami, peran gender telah berevolusi. Perempuan semakin memperjuangkan hak-hak mereka meskipun norma-norma patriarki masih ada. Penelitian menunjukkan bahwa pergeseran budaya menantang pandangan tradisional, namun kesenjangan pendidikan menghambat kemajuan menuju kesetaraan gender.
Pernah, dalam pertemuan yang menghadirkan dua narasumber berpengalaman dalam isu gender dan sosial, yaitu perwakilan dari Yayasan Kesejahteraan Perempuan Indonesia (YKPI), Dessy Setiawaty dan pendiri Youth Ide, Bayu Satria. Keduanya memberikan wawasan mendalam tentang tantangan yang dihadapi kelompok rentan di Aceh serta solusi berbasis kesetaraan yang keberlanjutan.
Dessy Setiawaty sosok aktivis dan ahli di bidang kesejahteraan perempuan yang kesehariannya bekerja dan konsen YKPI. Dia terlibat aktif dalam upaya meningkatkan kesadaran dan hak-hak perempuan, serta mempromosikan keadilan sosial di berbagai wilayah, termasuk Aceh.
Dessy Setiawaty menyoroti pentingnya perubahan pandangan masyarakat terhadap isu gender di Aceh. Kalau sudah budaya apa yang diikuti oleh orang banyak dan itu menjadi kebiasaan maka bisa disebut budaya. Sekarang persoalan itu masih terjadi di beberapa kehidupan sosial. Isu ini perlu dikupas lebih dalam dan diperjuangkan, karena memang posisi perempuan ada pelabelan bahwa perempuan ranahnya hanya domestik atau mengurusi urusan rumah tangga. Maka memposisikan perempuan tidak sama dengan laki-laki biasanya itu disebut pembedaan bukan perbedaan, artinya secara konstruksi memang sengaja dibedakan posisi perempuan dan laki-laki.
Sementara Bayu Satria, seorang aktivis hak anak asal Aceh, berjuang meningkatkan kesadaran dan perlindungan hak anak di daerahnya. Meskipun mengalami kecacatan akibat gangguan saraf, ia menolak menggunakan alat bantu dan fokus pada kemampuannya untuk berkontribusi. Bayu pernah mengalami diskriminasi saat bersekolah, tetapi kini ia menjadi duta anak nasional. Ia aktif dalam kampanye melawan kekerasan terhadap anak dan mendirikan komunitas YouthID untuk memberdayakan generasi muda dalam pembangunan yang inklusif.
Bayu Satria pernah bertanya kepada kawan tentang disabilitas itu privilage atau kerentanan? Sebagian dari kawannya menjawab bahwa disabilitas lebih tepat dipandang sebagai kerentanan daripada privilage. Penyalahgunaan disabilitas sering menghadapi tantangan signifikan, termasuk diskriminasi, akses terbatas ke layanan dasar, dan risiko kemiskinan yang lebih tinggi. Mereka termasuk dalam kelompok rentan yang memerlukan perlindungan khusus untuk hak-hak mereka. Selain itu, interaksi antara disabilitas dan lingkungan sosial sering kali melemahkan kondisi mereka, menjadikan mereka lebih rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Generasi muda di Aceh menunjukkan pandangan yang semakin terbuka terhadap peran gender. Mereka cenderung lebih mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mempengaruhi pendidikan yang lebih baik dan akses informasi melalui media sosial.
Meskipun ada kemajuan, generasi muda masih menghadapi tantangan dari norma-norma tradisional yang kuat dan pengaruh budaya lokal. Diskusi terbuka tentang peran gender terus berkembang, namun resistensi terhadap perubahan masih ada di beberapa kalangan masyarakat. Secara keseluruhan, generasi muda di Aceh berperan sebagai agen perubahan untuk mempromosikan kesetaraan gender, meskipun mereka harus melakukan navigasi melalui ketegangan antara tradisi dan modernitas.