Trienggadeng — Lembaga The Aceh institute bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) dan KB Kabupaten Pidie Jaya, Akademisi serta jurnalis merekonsiderasi naskah akademik Qanun Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kabupaten Pidie Jaya. Kegiatan tersebut dilaksanakan di kantor Dinkes Pidie Jaya, Jumat, 12 Januari 2024.
Rekonsiderasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempertimbangkan kembali perencanaan program Qanun KTR, baik sebelum pelaksanaan maupun selama proses pelaksanaan.
Upaya melahirkan Qanun KTR merupakan langkah maju yang ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya untuk meminimalisir timbulnya korban berbagai penyakit kronis khususnya pada anak.
KTR salah satu solusi untuk memproteksi masyarakat yang tidak merokok agar tidak turut serta menerima akibat dari perokok, sehingga ada area atau ruangan yang dilarang untuk merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, meng-iklankan, dan mempromosikan produk tembakau.
Dalam Peraturan Menteri PPPA Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kota Layak Anak disebut adanya peraturan tentang KTR dan tidak ada iklan dan sponsor rokok. Hak konstitusional untuk sehat (right to health) adalah hak asasi manusia (HAM) yang dapat dijabarkan ke dalam tiga hal, yaitu setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan kesehatan, pemeliharaan dan pelayanan kesehatan, setiap produk yang dapat mengakibatkan kesakitan atau kematian melanggar HAM.
Asisten I Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya, Said Abdullah mengatakan, pihaknya sangat serius untuk melahirkan Qanun KTR, mengingat sampai saat ini hanya Kabupaten Pidie Jaya yang belum memiliki Qanun KTR. Said juga sangat berterima kasih kepada The Aceh Institute yang selama ini telah mendampingi dan bersama-sama menyusun naskah akademik Qanun KTR.
“Kami berkeyakinan, pada tahun 2024 ini Qanun KTR dapat diwujudkan. Pemerintah Pidie Jaya bertekad Qanun KTR harus lahir, naskah akademik sudah rampung kita bahas, tinggal kita ajukan ke bagian hukum untuk diverifikasi dan selanjutnya akan diajukan ke DPRK untuk dibahas,” kata Said Abdullah.
Akademisi Sekolah Tinggi Ummul Ayman, Deni Mulyadi mengatakan, Qanun KTR ini merupakan suatu terobosan untuk mengatur hal-hal yang sifatnya merugikan masyarakat baik di segi kesehatan maupun ekonomi. Kebiasaan merokok dilihat dari sisi manapun akan berdampak negatif, sehingga dengan lahirnya Qanun KTR diharapkan mampu memberi pelajaran penting kepada masyarakat tentang bahaya merokok.
“Memang, kalau berharap tidak ada lagi perokok di Aceh sangat tidak mungkin, tetapi dengan adanya qanun ini akan mengatur tempat-tempat yang bisa merokok dan kawasan bebas rokok. Semoga iklan-iklan rokok yang ada di Pidie Jaya bisa ditertibkan dan tidak dipasang pada sembarangan tempat,” ujar Deni Mulyadi.
Sementara itu, Direktur The Aceh Institute, Muazzinah menambahkan, dari data yang pernah dirilis Aceh Tribunnews, penduduk Aceh pada tahun 2019 berjumlah 5,3 juta jiwa, 20 persennya adalah perokok berat. Apabila satu orang menghabiskan sebungkus rokok per hari, dengan harga per bungkus Rp20 ribu, maka dalam setahun uang untuk membeli rokok mencapai Rp7,2 triliun.
Muazzinah juga menyebut, pada tahun 2021 TBC di Aceh tercatat 7.170 kasus. Jumlah tersebut diketahui meningkat, di mana pada tahun 2020 sebanyak 6.878 kasus. 4.578 kasus pada laki-laki, dan 2.592 kasus pada perempuan.
“Sementara kasus kematian di Aceh karena TBC mencapai 276 kasus pada tahun 2021, atau 5:100.000 penduduk. Angka ini meningkat drastis dari yang sebelumnya yang hanya 1:100.000 penduduk,” kata Ketua The Aceh Institute Muazzinah, sebagaimana dirilis Aceh Tribunnews.