Oleh: [ Rozza Maisyara ] [ Intruktur Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh]
Penggiat Isu Disabilitas
Hari Disabilitas Internasional (International Day of Disabled Persons) diperingati setiap 3 Desember sebagai momentum penting memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas di seluruh dunia. Peringatan ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi 47/3 pada 1992. Tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan dan hak-hak penyandang disabilitas.
Siapa yang disebut disabilitas? Diskursus tentang disabilitas sering kali terjebak dalam definisi yang terbatas, menggambarkan disabilitas sebagai kondisi fisik atau mental yang menghalangi kemampuan individu. Pandangan sempit ini memunculkan stigma yang melemahkan penyandang disabilitas. Untuk mengoreksi pandangan tersebut, para ilmuwan sosial memperkenalkan istilah “difabel,” yang menekankan perbedaan kemampuan (different ability) ketimbang cacat.
Istilah ini bertujuan mengubah paradigma, menjadikan penyandang disabilitas sebagai individu yang memiliki potensi dan kontribusi beragam. Namun, stigma sosial terhadap penyandang disabilitas masih menyebar luas, bahkan di dalam keluarga sendiri. Mereka sering kali dianggap tidak mampu berpartisipasi dalam aktivitas sosial yang sama seperti individu tanpa disabilitas.
Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas merasa terisolasi, rendah diri, dan terkadang tidak diterima masyarakat. Stereotip tersebut mempengaruhi kebijakan publik, seperti aksesibilitas fasilitas umum yang tidak memadai, yang semakin memperburuk ketidaksetaraan yang mereka hadapi.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang dimiliki setiap individu tanpa kecuali, termasuk penyandang disabilitas. Undang-Undang Nomr 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengakui bahwa setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik berhak mendapatkan akses penuh untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
Negara wajib menjamin hak-hak mereka, termasuk hak untuk hidup, berkembang, dan bermartabat tanpa diskriminasi. Ini berarti penyandang disabilitas memiliki kedudukan hukum yang setara dengan warga negara lainnya.
Penyandang disabilitas di Indonesia dan kerap menghadapi antangan inklusivitas. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari total penduduk. Fakta ini harusnya mendorong pemerintah untuk lebih fokus pada pembangunan yang inklusif dan memperhatikan aksesibilitas.
Kenyataannya, banyak fasilitas umum seperti trotoar, transportasi publik, dan gedung-gedung yang belum sepenuhnya ramah disabilitas. Kondisi ini menghambat penyandang disabilitas mengakses hak mereka secara penuh, yang berdampak pada kualitas hidup mereka. Disabitas di Aceh Tantangan dan harapan
di Aceh, meskipun data terkait jumlah penyandang disabilitas masih terbatas, Dinas Sosial Aceh mencatat pada 2022 terdapat 18.680 penyandang disabilitas, atau sekitar 0,35% dari total penduduk. Kendati demikian, angka ini menunjukkan adanya kerentanannya. Penyandang disabilitas di Aceh masih menghadapi ketergantungan tinggi terhadap keluarga, terutama karena terbatasnya akses terhadap pendidikan, pelatihan, dan lapangan pekerjaan yang bisa mengubah kondisi ekonomi mereka.
Selain itu, penyandang disabilitas di Aceh sering kali menghadapi hambatan sosial yang signifikan, termasuk rendahnya kesadaran masyarakat tentang inklusivitas dan kurangnya fasilitas yang mendukung mereka. Kerentanan sosial dan ekonomi ini menambah kesulitan yang mereka alami dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Peringatan Hari Disabilitas Internasional seharusnya lebih dari sekadar seremonial. Ini adalah momen refleksi dan aksi untuk memastikan penyandang disabilitas memperoleh hak yang sama dan layak dihormati. Aceh, sebagai provinsi dengan semangat syariat Islam yang kental, memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan penyandang disabilitas diperlakukan dengan adil dan inklusif, dengan mengadopsi nilai-nilai gotong royong dan kesetaraan yang diajarkan oleh agama, Aceh dapat menjadi contoh daerah yang ramah bagi penyandang disabilitas. Membangun Aceh yang inklusif bukan hanya soal memperbaiki fasilitas fisik yang mendukung, seperti akses ke gedung, jalan, dan transportasi, tetapi juga membangun budaya inklusivitas dalam masyarakat.
Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya hak-hak penyandang disabilitas serta memastikan mereka memiliki akses yang setara terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan.
Menjadi daerah inklusif Sebagai bagian dari komitmen mewujudkan inklusivitas, setiap individu di Aceh harus berperan aktif dalam memerangi stigma terhadap penyandang disabilitas. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Mari jadikan peringatan Hari Disabilitas Internasional sebagai langkah awal menuju perubahan nyata, dengan memperkuat kesetaraan, inklusi, dan penghormatan terhadap hak-hak penyandang disabilitas, tentu dapat mewujudkan Aceh sebagai daerah yang berdaya dan bermartabat bagi semua warganya, tanpa terkecuali.