Banda Aceh, JBA – Lonceng Cakra Donya yang berada persis di depan anjungan Kota Banda Aceh di Taman Sulthanah Safiatuddin, jadi buruan pengunjung untuk berswafoto dengan latar belakang benda bersejarah tersebut.
Lonceng itu sengaja diletakkan di depan anjungan untuk bisa menarik minat pengunjung Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 yang ingin meneruskan perjalanan ke panggung utama atau anjungan lainnya di deretan anjungan Banda Aceh.
Seorang warga asal Aceh Tenggara, Ibrahim menyebutkan, dia bersama keluarga sengaja untuk mengabadikan momen di tempat-tempat yang belum pernah dia kunjungi, termasuk ke Banda Aceh.
“Kami jauh dari Aceh Tenggara baru pertama kali ini memang ke Banda Aceh. Jadi kami gak tau apa ikonnya Banda Aceh, makanya kami foto di lonceng ini,” ujar Ibrahim, Kamis 9 November 2023.
Meski baru pertama kali pergi ke PKA, Ibrahim menilai pelaksanaan kegiatan kebudayaan terbesar di Aceh itu cukup bagus. Banyak anjungan yang memamerkan tradisi, kebudayaan hingga kesenian dari masing-masing kabupaten/kota.
Menurutnya, tradisi atau produk kebudayaan yang dipamerkan masing-masing anjungan, bisa membantunya mengetahui daerah di Aceh yang belum pernah dikunjungi.
“Misalnya inilah di Banda Aceh, kami jadi tau apa-apa saja yang jadi (produk kebudayaan) utama di sini,” ucapnya.
Menurut Ibrahim ia hanya pernah mendengar cerita soal Lonceng Cakra Donya dan belum pernah melihatnya secara langsung.
Sejarah Lonceng Cakra Donya
Bagi masyarakat Aceh, lonceng bersejarah yang dibuat pada tahun 1409 Masehi ini sudah tidak asing lagi. Lonceng yang berbentuk stupa ini jadi saksi bisu kuatnya armada militer kerajaan Aceh Darussalam di masa jayanya.
Menurut sejarah, lonceng ini adalah hadiah Kaisar Yongle yang berkuasa di daratan Cina kepada kerajaan Samudra Pasai, sebagai wujud persahabatan kedua kerajaan.
Lonceng ini diantarkan langsung oleh Laksamana Cheng Ho ketika melakukan lawatan ke Aceh guna membangun kerjasama dalam bidang keamanan dan perdagangan.
Oleh karena itu, armada laut yang dimiliki oleh Kerajaan Samudra Pasai sangat kuat bahkan memiliki kapal induk terbesar di dunia yang akhirnya direbut oleh kerajaan dari Portugis lalu diserahkan ke Spanyol.
Akan tetapi lonceng itu tidak direbut oleh Portugis karena ini adalah hadiah termegah dari kerajaan China dan bentuk ikatan persahabatan dengan Aceh dan China. Mungkin pertimbangan itu, lonceng Cakra Donya ini tidak pernah direbut oleh penjajah mana pun.
Kemudian, saat Kerajaan Pasai takluk ditangan Kerajaan Aceh Darussalam pimpinan Sultan Ali Mughayatsyah pada 1542 M, lonceng itu disita dan dibawa ke Koetaradja (Sekarang Banda Aceh), pusat Kerajaan Aceh Darussalam.
Lonceng ini awalnya diletakkan di atas kapal perang Sultan Iskandar Muda bernama Cakra Donya yang merupakan kapal induk milik armada Aceh pada waktu itu. Karena ukurannya yang sangat besar, Bangsa Portugis pernah menyebutnya dengan nama Espanto del mundo atau teror dunia.
Lonceng ini selanjutnya diberi nama Lonceng Cakra Donya. Nama ini diambil dari kapal perang tersebut. Cakra berarti kabar dan Donya artinya dunia, sehingga lonceng Cakra Donya dapat diartikan sebagai kabar dunia