Kisah Dibalik Didong dan Pembangunan Masjid

Banda Aceh, JBA – Sekelompok anak muda duduk melingkar di atas panggung kecil di depan anjungan Bener Meriah. Salah seorang di antaranya lalu mengucapkan salam sebagai tanda pembuka, mengawali penampilan kesenian Didong yang disuguhkan kepada pengunjung Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 di Taman Sulthanah Safiatuddin.

Tepuk tangan membentuk irama diiringi alunan bait-bait syair terdengar merdu. Penonton yang penasaran dengan suara itu, perlahan mendekat dan mengerumuni anjungan daerah penghasil kopi Gayo tersebut.

Penampilan Didong yang hanya menggunakan kedua telapak tangan dan bantal kecil itu, tampak sangat dinikmati pengunjung meski syair di dalamnya menggunakan bahasa daerah Gayo.

Didong merupakan salah satu kesenian tradisional populer di tengah masyarakat Bener Meriah dan Takengon, Aceh Tengah. Kesenian ini bagian dari tradisi masyarakat Gayo yang masih berkembang hingga saat ini.

Didong biasanya dimainkan saat acara pesta pernikahan dan event budaya. Dimainkan oleh kalangan dari berbagai usia mulai dari orang tua, remaja hingga anak-anak.

Syair yang dilantunkan dalam didong adalah nasihat-nasihat sosial, agama hingga hubungan manusia dengan alam. Dalam kesenian ini dipimpin oleh seorang ceh (vokal) yang membawakan syair-syair tersebut.

Staf Kebudayaan Disdikbud Bener Meriah, Juhri, masih ingat betul ketika dirinya mulai belajar bermain didong sejak kecil. Bahkan, menurutnya, kesenian tersebut adalah tradisi yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat di sana.

“Sejak saya lahir didong itu memang sudah ada di Bener Meriah – Takengon atau masyarakat Gayo-lah khususnya. Tapi kalau untuk tahun lahirnya saya tidak tahu, sepertinya sudah ada sejak zaman belanda,” katanya, Sabtu 10 November  2023.

Juhri menceritakan, didong tak hanya sekadar penampilan kesenian semata, namun juga ikut membantu dalam proses pembangunan. Masyarakat Bener Meriah dan Aceh Tengah dulunya kerap memainkan Didong saat hendak membangun masjid atau musala.

“Didong ini diperlombakan, jadi setiap warga yang ingin menyaksikan harus membeli tiket, dan dari hasil itu disumbangkan untuk pembangunan masjid,” ujarnya.

Menurut Juhri, dulu setiap ada pembangunan rumah ibadah penampilan didong dimainkan semalam suntuk (semalaman) dimulai dari pukul 22.00 hingga menjelang subuh. Menariknya, kala itu pemain menampilkan kesenian didong dengan ikhlas tanpa dibayar demi pembangunan masjid.

“Kalau saya ikut didong dulu bukan saya yang dibayar, tapi kami ikut menyumbang, begitulah semangat untuk membangun masjid, meunasah, itu jasa-jasa orang dulu. Didong ini sangat berkontribusi dalam pembangunan, apalagi ceh-ceh terdahulu,” tuturnya.

Beranjak dari semangat itulah kesenian didong di tanah Gayo tidak pernah mati apalagi punah. Kesenian ini terus berkembang di tengah masyarakat.

Di sisi lain untuk tetap menjaga kelestarian didong, Disdikbud Bener Meriah juga terus menggelar festival atau perlombaan tingkat pelajar dan event-event kesenian lainnya.

“Didong ini sangat berkembang dan terus kita lestarikan melalui atraksi budaya, dan festival tingkat anak sekolah,” pungkas Juhri.

TERBARU

BERITA TERHANGAT

BERITA MINGGUAN

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT