Ahli Hukum Pidana: Muncikari Dapat Terjerat UU TPPO, ITE & Perlindungan Anak

Langsa – Muncikari dengan inisial ER dan DP yang ditangkap oleh aparat kepolisian beberapa waktu lalu mengaku telah membuka jasa layanan prostitusi selama tiga tahun. Pengakuan tersebut mmembuat masyarakat resah dan perihatin.

Tidak sedikit yang berpendapat bahwa para tersangka harus dijerat dengan KUHP agar hukuman yang mereka terima lebih berat dan bisa memberi efek jera ketimbang hukuman cambuk.

Hal tersebut juga ikut diutarakan oleh salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudra Liza Agnesta Krisna, SH., MH., kepada awak media ini saat dimintai pendapatnya terhadap kasus tersebut, Kamis (21/10/2021).

“Prostitusi atau pelacuran merupakan suatu hal yang kompleks dalam kehidupan bermasyarakat, karena efeknya mengarah pada penjatuhan moral, agama, kesusilaan bahkan kesehatan,” kata Liza Agnesta Krisna.

Dosen yang saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tersebut juga mengungkapkan, saat ini tidak sedikit masyarakat yang terjerumus ke dalam praktek prostitusi dengan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK).

Yang mirisnya lagi, sambungnya, para PSK tidak hanya dari kalangan perempuan yang sudah dewasa, bahkan kalangan usia muda dengan umur 14-18 tahun juga tertarik untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah lewat praktik esek-esek tersebut.

Menurutnya, meski di Aceh telah berlaku Qanun Hukum Jinayat, aparat penegak hukum juga dapat mempertimbangkan beberapa regulasi lain yang mengatur unsur delik yang lebih lengkap, terutama dalam kasus prostitusi ini.

Misalnya, Liza mencontohkan, dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. UU ini efektif untuk menjerat para pengelola jasa prostitusi, germo atau mucikari, pengguna jasa prostitusi, dan berlaku juga jika tindak pidana tersebut dilakukan terhadap anak.

“Untuk kasus ini, penegak hukum bisa menggunakan Pasal 2 ayat (1), (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 12 jo. Pasal 17 UU TPPO jo. Pasal 55-56 KUHP dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun,” terangnya.

Ia menambahkan, apabila prostitusi tersebut dilakukan secara online, di mana segala bentuk kegiatannya dikelola atau di-manage melalu media internet, penegak hukum juga dapat mempertimbangkan penerapan pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Apabila prostitusi itu dilakukan secara Daring, penegak hukum dapat menjerat pelaku dengan Pasal 45 jo Pasal 27 ayat 1, terkait sanksi pidana bagi penyedia jasa prostitusi online dengan kurungan penjara maksimal 6 (enam) tahun,” sebutnya.

Kemudian, sebutnya lagi, apabila pekerja seks tersebut adalah anak di bawah umur, bisa juga menggunakan norma khusus terhadap perlindungan anak, yaitu UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk menjerat pelaku mucikari, yakni Pasal 76I dengan sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun.

Liza juga khawatir, pasca pemberlakuan Qanun Jinayat di Aceh, sebagian jenis delik akan mengalami dualisme penerapan hukum, sehingga membuat perbedaan persepsi di antara aparat penegak hukum.

Akan tetapi, terkait kasus di atas, penegak hukum dapat mempertimbangkan kekhususan dan kelengkapan dari unsur-unsur delik yang ada dalam beberapa regulasi dan dibandingkan dengan Qanun Jinayat, sehingga dapat membangun kontruksi hukum yang komprehensif.

“Bagaimanapun regulasi itu, penegakan hukum atas perkara ini harus dilakukan se-efektif mungkin, sehingga benar-benar memberikan efek jera bagi para pelaku, terutama mucikari,” tandasnya. JBA.

BERITA MINGGUAN

TERBARU

BERITA TERHANGAT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT