Menguatkan Peran Penyuluh Agama dalam Literasi Keagamaan

Oleh: Tgk. Sabda, S.H. (Ketua PD IPARI) Kabupaten Pidie Jaya

Deras arus informasi digital menghendaki peran penyuluh agama menapaki babak baru. Dahulu dakwah cukup via mimbar, majelis taklim, atau pertemuan di masjid. Kini penyuluh dituntut melangkah jauh menebar nilai Islam melalui tulisan. Dakwah bukan sebatas suara yang terdengar, tetapi juga kata yang terbaca dan menggugah hati.

Kesadaran ini jadi alasan IPARI Pidie Jaya adakan even literasi bagi penyuluh agama. Sebuah ikhtiar membangun tradisi baru dari lisan ke tulisan. Gebrakan ini jadi tonggak penting dalam sejarah kepenyuluhan di Negeri Japakeh, yang menegaskan dakwah berbasis literasi bukan sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan zaman.

Pelatihan ini menghadirkan dua pemateri yang menjadi inspirasi banyak penyuluh agama di Aceh. Pertama, Tgk Mukhlisuddin Marzuki sosok yang pernah tumbuh dan berkiprah di Pidie Jaya, namun kini mengemban amanah sebagai Ketua IPARI Pidie. Ia dikenal sebagai penulis produktif yang mampu menjembatani antara pengalaman dakwah di lapangan dengan tulisan ilmiah bernas.

Pemateri kedua Abu Teuming, aktivis Humas PP IPARI, figur yang kiprahnya dikenal luas di Aceh karena semangatnya membangkitkan gerakan literasi di kalangan penyuluh. Kehadiran dua tokoh literasi Kemenag ini memberikan energi baru, bukan hanya mengajar cara menulis, tetapi menghidupkan kembali kesadaran bahwa setiap penyuluh memiliki kisah dakwah yang layak diabdaikan.

Dakwah dikenal sebagai seni berbicara. Ceramah di masjid, khutbah Jumat, bimbingan perkawinan, atau penyuluhan masyarakat menjadi rutinitas yang melekat dengan penyuluh. Namun, dakwah lisan sering kali hilang bersama waktu, terdengar tapi mudah dilupakan.

Berbeda dengan tulisan. Ia memiliki daya hidup panjang. Tulisan mampu menembus ruang dan zaman, dibaca ulang oleh generasi berikutnya, bahkan menjadi rujukan ilmiah abadi. Melalui tulisan, penyuluh dapat menjejakkan nilai dakwah secara ilmiah, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Tulisan bukan sekedar kata di atas kertas, tetapi cermin perjalanan dakwah nyata. Ia bisa berupa artikel ilmiah, esai reflektif, atau laporan pengabdian masyarakat. Tulisan terkadang menyimpan pengalaman lapangan otentik tentang penyuluh yang menghadapi tantangan sosial, mengelola perbedaan, atau menanamkan nilai moderasi beragama di tengah masyarakat majemuk.

Menulis berarti mengabadikan amal. Bagi penyuluh, ini jadi dakwah yang tak pernah padam.

Banyak penyuluh merasa menulis itu sulit. Ada yang beralasan tak punya waktu, bahkan ragu dengan kemampuan diri. Padahal, hakikat menulis bukan pada rumitnya teori, melainkan pada kemauan menuangkan pengalaman dengan bahasa yang terstruktur dan efektif.

Setiap penyuluh memiliki kisah dakwah berharga. Ada yang berkisah tentang keberhasilannya membangun kerukunan antarumat beragama di desa terpencil, ada yang menulis pengalaman membimbing remaja masjid agar lebih kreatif berdakwah di media sosial, atau mendampingi keluarga muda agar rumah tangga tetap sakinah di tengah gempuran budaya digital.

Kisah inilah akan jadi ladang pahala. Saat ditulis, pengalaman itu berubah menjadi pengetahuan baru bagi sesama penyuluh dan masyarakat. Maka, menulis bukan hanya tentang kemampuan intelektual, melainkan juga niat berbagi manfaat.

Kita hidup pada zaman ketika berita palsu (hoaks) tentang agama mudah beredar di media sosial. Narasi kebencian dan intoleransi kerap dibungkus dengan dalil agama yang menyesatkan. Dalam situasi seperti ini, literasi keagamaan menjadi benteng intelektual dan spiritual masyarakat.

Penyuluh agama memiliki peran vital sebagai agen literasi, bukan hanya menyampaikan pesan agama, tetapi juga meluruskan pemahaman yang keliru melalui tulisan dan edukasi berbasis rujukan yang sahih. Ketika penyuluh menulis, mereka memperluas jangkauan dakwah Islam, menembus batas ruang fisik dan hadir di ruang digital, akademik, serta media publik.

Tulisan penyuluh yang bijak dapat menjadi oase di tengah padang kering informasi yang menyesatkan. Ia menuntun masyarakat agar kembali pada nilai Islam yang damai, toleran, dan berkeadaban.

Membangun ekosistem penulis penyuluh

Gerakan literasi tidak bisa berjalan sendiri. Ia butuh ekosistem ruang belajar, komunitas, dan dukungan kelembagaan. Penting bagi Kementerian Agama dan organisasi Ikatan Penyuluh Agama Republik Indonesia (IPARI) di berbagai daerah untuk membuka lebih banyak ruang bagi penyuluh agar bisa mengasah kemampuan menulis.

Pelatihan seperti yang dilakukan IPARI Kabupaten Pidie Jaya menjadi contoh nyata bagaimana perubahan dimulai dari langkah kecil. Melalui pelatihan ini, lahir semangat menulis buku bersama, menerbitkan artikel di media, bahkan membuat jurnal penyuluh yang merekam praktik dakwah di berbagai wilayah.

Setiap tulisan penyuluh bukan hanya dokumentasi kegiatan, tetapi dokumen sejarah yang mencatat peran penyuluh dalam membangun peradaban keagamaan yang moderat. Dengan pendampingan yang berkelanjutan, karya-karya tersebut dapat menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan generasi muda penyuluh di masa depan.

Menulis sejatinya adalah bagian dari dakwah. Pena penyuluh adalah lentera yang menuntun masyarakat menuju pencerahan. Tulisan yang lahir dari hati dan ilmu akan menyentuh nurani pembacanya. Ia mampu menumbuhkan empati, menyalakan semangat, dan mengubah cara pandang seseorang terhadap agama.

Bila dakwah lisan menembus telinga, maka dakwah tulisan menembus kesadaran. Keduanya saling melengkapi, seperti dua sisi dari satu perjuangan. Penyuluh yang mampu menggabungkan keduanya akan menjadi pelita yang tak mudah padam, karena dakwahnya terekam, terbaca, dan diwariskan.

Menguatkan peran penyuluh agama Islam melalui karya tulis ilmiah berarti memperluas makna dakwah itu sendiri. Dari lisan ke tulisan, dari ruang lokal ke ranah global. Penyuluh menjadi penulis perubahan, menyebarkan nilai Islam yang moderat, cerdas, dan mencerahkan.

Pelatihan ini bukan sekadar agenda formal, tetapi bagian dari gerakan kebangkitan literasi penyuluh. Di Pidie Jaya, semangat itu mulai tumbuh. Penyuluh kini menapaki jalan baru, pena. Dari mereka, lahir kisah dakwah yang abadi, menembus batas ruang dan waktu. Pena-pena kecil ini, cahaya literasi keagamaan akan terus bersinar.

BERITA MINGGUAN

TERBARU

BERITA TERHANGAT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT