Aceh Jaya, Dari Pesimisme ke Optimisme Menyambut PORA

Opini Oleh : Sanusi ( Pemerhati Sosial Politik Aceh Jaya)

Ketika Aceh Jaya ditetapkan sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Aceh (PORA) 2026, nada pesimisme sempat menguat. Argumen yang muncul hampir selalu seragam, dimana infrastruktur olahraga belum lengkap, ketersediaan hotel terbatas, dan fasilitas kota besar jauh dari memadai. Tetapi sejarah menunjukkan, keraguan semacam ini kerap muncul setiap kali sebuah daerah kecil diberi mandat besar.

Ambil contoh PON Papua 2021. Kala itu, isu keterbatasan infrastruktur, keamanan, dan transportasi menjadi sorotan nasional. Namun pada akhirnya, event itu berhasil berlangsung dengan catatan positif, bahkan meninggalkan warisan fasilitas olahraga yang sebelumnya tidak pernah ada. Demikian pula PORA di Aceh Jaya. Alih-alih mengasuh pesimisme, semestinya kita belajar dari logika pembangunan berbasis event, dimana sebuah perhelatan besar justru bisa menjadi katalis pembangunan.

Plt. Sekda Aceh Jaya, Juanda, dengan tepat menyebut bahwa kekurangan bisa disulap menjadi kelebihan. Pernyataan ini mengingatkan pada teori resource-based view dalam kajian pembangunan daerah dimana keunggulan bukan semata ditentukan oleh modal fisik, melainkan juga oleh modal sosial, budaya, dan alam. Aceh Jaya memang tak punya deretan hotel bintang lima, tetapi ia punya garis pantai eksotis dari Lhok Geulumpang hingga Kuala Unga, hutan mangrove yang lestari, dan kekayaan laut yang nyaris tak tertandingi.

Potensi kuliner juga bukan sekadar pelengkap. Dalam kajian pariwisata, pengalaman rasa kerap menjadi faktor utama dalam pembentukan citra destinasi. Ikan keureuling segar, kuah cue, hingga lobster hasil tangkapan nelayan lokal dapat menjadi narasi identitas daerah. Penelitian Kemenparekraf 2022 bahkan mencatat bahwa 60% wisatawan domestik memilih destinasi berdasarkan kuliner khas. Jika setiap atlet dan tamu pulang dengan cerita tentang rasa unik Aceh Jaya, maka PORA akan meninggalkan jejak yang lebih kuat ketimbang medali emas.

Keterbatasan hotel dapat dijawab dengan kreativitas berupa homestay rakyat, paket camping di tepi pantai, atau wisata edukasi mangrove yang dikelola oleh komunitas lokal. Model semacam ini sejalan dengan tren community-based tourism yang kini banyak dipromosikan di berbagai belahan dunia. Alih-alih meratapi ketiadaan fasilitas mewah, Aceh Jaya justru bisa menawarkan pengalaman otentik yang tak tergantikan oleh kota besar manapun.

Namun, semua itu hanya mungkin terwujud jika masyarakat menjadi tuan rumah yang sesungguhnya. Partisipasi rakyat mulai dari membuka dapur rumah untuk kuliner, menyediakan homestay sederhana, hingga menjadi relawan olahraga, akan menghadirkan suasana akrab dan hangat. Dalam perspektif social capital, kehangatan masyarakat seringkali lebih menentukan keberhasilan sebuah event daripada kemegahan stadion.

PORA di Aceh Jaya bukan hanya pesta olahraga, melainkan momentum membangun citra daerah. Ia adalah panggung untuk menegaskan bahwa kesederhanaan tidak identik dengan kelemahan. Dengan gotong royong, keterbatasan infrastruktur bisa ditutup oleh kelimpahan pengalaman. Dengan optimisme, kekurangan bisa ditransformasi menjadi kekuatan.

Jika berhasil, Aceh Jaya akan memberi pelajaran penting bahwa keberhasilan sebuah event besar tidak diukur dari megahnya gedung, melainkan dari seberapa dalam kesan yang ditinggalkan bagi setiap orang yang datang. Dari pesimis menjadi optimis, dari keterbatasan menjadi peluang, dan itulah jalan yang seharusnya ditempuh Aceh Jaya.

BERITA MINGGUAN

TERBARU

BERITA TERHANGAT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

BERITA TERKAIT