Banda Aceh, JBA – Kepala Bidang Penerangan Agama Islam dan Zakat Wakaf (Kabid Penaiszawa) Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Aceh, H Zulfikar SAg MAg membuka Rapat Kerja (Raker) Pengurus Wilayah Ikatan Penyuluh Agama Republik Indonesia (PW IPARI) Provinsi Aceh, yang mengusung tema; Melalui Rakerwil, Kita Perkuat Organisasi IPARI dengan Konsolidasi, Kolaborasi, dan Pemantapan Program Keumatan”, di Hotel Seventeen, Banda Aceh, 1 Mei 2024.
H Zulfikar menyebutkan orang luar Aceh melihat syariah Islam di Aceh seakan sangat berat, padahal masyarakat Aceh sangat senang dan mudah menjalankannya. Bahkan orang non muslim yang datang ke Aceh merasakan kenyaman berada di Aceh, meskipun daerah ini berlaku syariat Islam.
“Mudah-mudahan peran penyuluh agama bisa membawa syariat Islam ke gampong-gampong dengan nilai toleransi dan damai,” ucap H Zulfikar saat membuka Raker PW IPARI Aceh yang berlangsung 1 sampai dengan 3 Mei 2024.
Ia mengatakan keberadaan IPARI untuk membina dan mengembangkan profesi penyuluh agama, sehingga menjadi profesi yang berintegritas dan profesional.
Selain itu, kata H Zulfikar, penyuluh agama wajib mengerti informasi teknologi (IT), karena ini eranya digital yang terus diadopsi dalam dunia kerja. Apalagi sekarang sudah ada aplikasi e-Kinerja yang memaksa penyuluh agama atau abdi sipil negara (ASN) untuk peka terhadap IT.
“Jadi semua penyuluh agama hendaknya melek IT. Ke depan penyuluh agama harus mendapat fasilitas yang memadai untuk menunjang kinerja, termasuk fasilitas IT,” harapnya.
Ia mengingatkan, kalau sama-sama berjalan saling membantu melalui organisasi penyuluh agama, tentu lebih bagus dan makin mudah menjalankan program kerja. IPARI merupakan perkumpulan untuk menyatukan visi dan merealisasikan kegiatan secara bersama-sama.
“Keberadaan IPARI juga wadah menampung aspirasi penyuluh agama. Saya harap ada aspirasi menarik dan aneh, artinya aneh dalam pengertian positif dan bermanfaat. Misalnya membentuk satu kampung yang bernuansa islami seperti rumah syarhil, kampung tilawah, atau kampung tahfiz. Kalau ada satu kampung seperti saya sebutkan, tentu sangat keren dan menarik. Jadi cobalah tampil beda. Di Aceh selalu tampil beda seperti lahirnya Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) kemudian dibentuk MUI, atau Bappeda yang diadopsi jadi Bappenas. Jadi banyak gagasan unik di Aceh dan ini harus mampu diwujudkan oleh penyuluh agama,” harap H Zulfikar.
IPARI, tegasnya, juga harus memberikan perlindungan hukum dan advokasi, sebab bisa saja ada masalah dan kendala dalam menjalakan profesi penyuluh agama. Hal ini yang penting sekali dilakukan oleh IPARI sebagai profesi penyuluh agama, sekaligus membangun sinergitas dan kerja sama dengan lintas sektoral.
“Jadi sinergi bukan hanya dengan Kemenag sebagai instansi induk, tapi bisa dengan intasi terkait dalam rangka menyampaikan program pemerintah kepada masyarakat,” harapnya.
Menurut H Zulfikar, IPARI sebagai penunjang program strategis pemerintah, seperti moderasi beragama yang menjadi program unggulan Kemenag RI atau pencegahan stunting yang jadi program unggulan Kemenkes RI dan BKKBN.
“Jadi kita jangan alergi dengan moderasi beragama, tentu sesuai makna sesungguhnya, yaitu sedang-sedang saja yang tidak ekstrim kanan atau ekstrim kiri,” tegasnya.
Di Aceh, kata H Zulfikar, sudah sangat bagus penerapan moderasi beragama, sebab hampir tidak ada persoalan yang merusak nilai-nilai moderasi beragama di daerah ini.
Terakhir, H Zulfikar berpesan agar penyuluh agama menjalakan program prioritas dan sama-sama berpikir demi pelayanan umat di bawah Peniaszawa.
“Semoga ke depan program kerja kita lebih terarah,” tutup Kabid Penaiszawa.
Raker ini dihadiri Ketua PW IPARI Aceh, Dra Evi Sri Rahayu Msos, Sekretaris PW IPARI Aceh, Rahmawati STH, Bendahara PW IPARI Aceh, Raudhatul Jannah dan para kepala bidang.