JAKARTA – Partai Buruh dan Serikat Buruh menyatakan menolak disahkannya Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).
Sebagai respons atas penolakan itu Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyatakan, serikat buruh akan menggelar aksi besar-besaran pada 8 Juni 2022 dengan melibatkan ribuan buruh di depan gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat.
“Betul, direncanakan partai buruh dan organisasi serikat buruh melakukan aksi besar-besaran pada tanggal 8 Juni 2022 yang melibatkan puluhan ribu buruh di DPR RI,” kata Said Iqbal saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Rabu, 25 Mei 2022.
Secara bersamaan aksi tersebut juga kata dia, akan dilakukan serempak di puluhan kota industri lainnya yang dipusatkan di Kantor Gubernur.
Lebih jauh, Partai Buruh juga akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
“Mengajukan JR ke MK tanggal 31 Mei 2022 tentang revisi UU PPP tersebut,” ucap Said Iqbal.
Tak hanya aksi tersebut, rencananya Partai Buruh juga akan kembali mengajak seluruh komponen buruh dan kelas pekerja lainnya untuk melakukan aksi besar-besaran selama tiga hari berturut-turut di DPR RI.
Aksi tersebut kata Iqbal, untuk menolak dibahasnya kembali Omnibus-Law UU Cipta Kerja.
Kendati demikian, belum diketahui tanggal berapa rencana aksi tersebut digelar.
Sebelumnya, Partai Buruh bersama serikat buruh secara tegas menolak disahkannya revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, pengesahan revisi UU PPP itu merupakan bentuk upaya akal-akalan hukum yang sama sekali bukan kebutuhan hukum.
“DPR bersama pemerintah melakukan revisi UU PPP hanya sebagai akal-akalan hukum agar omnibus law UU Cipta Kerja bisa dilanjutkan pembahasannya agar bisa segera disahkan,” kata Said Iqbal dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Rabu, 25 Mei 2022.
Said menambahkan, setidaknya ada dua alasan mengapa Partai Buruh dan Serikat Buruh menolak revisi UU PPP.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal saat ditemui awak media di Gedung Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Minggu, 1 Mei 2022.
Sebelumnya, Partai Buruh bersama serikat buruh secara tegas menolak disahkannya revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, pengesahan revisi UU PPP itu merupakan bentuk upaya akal-akalan hukum yang sama sekali bukan kebutuhan hukum.
“DPR bersama pemerintah melakukan revisi UU PPP hanya sebagai akal-akalan hukum agar omnibus law UU Cipta Kerja bisa dilanjutkan pembahasannya agar bisa segera disahkan,” kata Said Iqbal dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Rabu, 25 Mei 2022.
Said menambahkan, setidaknya ada dua alasan mengapa Partai Buruh dan Serikat Buruh menolak revisi UU PPP.
Pertama, dari sisi pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, revisi UU PPP tersebut bersifat kejar tayang.
“Menurut informasi yang kami terima, revisi UU PPP hanya dibahas selama 10 hari Baleg DPR RI,” ucapnya.
Padahal UU PPP menurut Partai Buruh, merupakan ruh untuk membuat sebuah produk undang-undang (syarat formil) di Indonesia sesuai perintah UUD 1945.
“Kalaulah revisinya dikebut bersifat kejar tayang, bisa disimpulkan jika isi revisi sangat bermuatan kepentingan sesaat. Tidak melibatkan publik yang meluas dan syarat kepentingan dari kelompok tertentu,” beber Said Iqbal.
Alasan kedua adalah, dari sisi revisi UU PPP tersebut, Partai Buruh bersama Serikat Pekerja kata Said Iqbal menilai ada tiga hal prinsip yang berbahaya bagi publik.
Khususnya bagi buruh, tani, nelayan, masyarakat miskin kota, lingkungan hidup, dan HAM. Ketiga hal tersebut yakni:
Pertama, revisi UU PPP hanya untuk sekedar memasukkan omnibus law sebagai sebuah sistem pembentukan undang-undang.
“Padahal omnibus law UU Cipta Kerja ini ditolak oleh seluruh kalangan masyarakat termasuk buruh,” ucap Iqbal.
Kedua, dalam proses pembentukan undang-undang tidak melibatkan partisipasi publik secara luas karena cukup dengan dibahas di kalangan kampus tanpa melibatkan partisipasi publik, maka sebagai undang-undang sudah dapat disahkan.
Ketiga, yang dinilainya lebih berbahaya adalah, dalam revisi UU PPP ini diduga memungkinkan dua kali tujuh hari sebuah produk undang-undang yang sudah diketuk di sidang paripurna DPR dapat berubah.
Adapun serikat buruh atau serikat pekerja yang menolak disahkannya Revisi UU PPP ini antara lain KSPI, ORI, KPBI, KSBSI, SPI, FSPMI, FSPKEP, SPN, ASPEK Indonesia, FSP ISI, dan lain-lain.
Diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan revisi Undang-undang (RUU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).
Pengesahan revisi UU P3 dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Selasa, 24 Mei 2022.